Pertama: Tidak ada patokan yang jelas dan standar yang benar dalam konsep takwil, Ahlulkalam dari kalangan Asya’irah tidak bisa mendatangkan standar yang benar tentang sifat yang boleh ditakwil dan yang tidak boleh ditakwil. Mereka menetapkan sebagian sifat, yaitu tujuh sifat yang mereka namakan dengan sifat ma’aani yaitu: (1) hayat (kehidupan), (2) iradah, (3) qudrah, (4) sam’un (pendengaran), (5) basharun (penglihatan), (6) ilmu dan (7) kalam (perkataan).
Sedang sifat yang lain seperti sifat-sifat fi’liyyah (sifat yang berkaitan dengan kehendak Allah) seperti: istiwa diatas arasy, nuzuul (turun kelangit bumi di sepertiga malam terakhir), mahabbah (kecintaan), gadhab (marah), dan sifat-sifat dzatiyyah khabariyyah (sifat yang selalu menyertai dzat Allah dan landasan penetapannya hanya wahyu) seperti: tangan, wajah, mata, kaki dll, semua sifat tersebut mereka takwil dengan berbagai pentakwilan yang aneh.
Tatkala ditanyakan kepada mereka: apa alasan kalian menetapkan tujuh sifat ma’aani dan mentakwil sifat-sifat fi’liyyah dan sifat-sifat dzatiyyah khabariyyah?. Mereka tidak bisa menjelaskan standar yang benar dan jelas dalam hal ini.
Diantara alasan yang sering mereka sebutkan: bahwa akal menunjukkan kepada tujuh sifat ma’aani diatas, tatkala akal menetapkan sifat tersebut maka kami juga tetapkan, adapun sifat-sifat yang lain akal tidak menunjukkan kepada hal itu, maka kami juga tidak menetapkannya, bahkan harus ditakwil.
Logika mereka mengatakan: adanya perbuatan dari Allah menunjukkan kepada sifat qudrah (kekuatan), karena yang tidak memiliki kekuatan tidak akan mungkin bisa berbuat dan menciptakan.
Keindahan dan keagungan ciptaan alam semesta menunjukkan kepada sifat ilmu, karena yang tidak berilmu tidak akan mungkin bisa menciptakan dengan indah dan rapi.
Adanya pengkhususan ciptaan dengan berbagai bentuk, rupa dan warna yang berbeda menunjukkan kepada sifat iradah (kehendak).
Sifat qudrah, iradah dan ilmu menunjukkan kepada sifat kehidupan (hayat), dan kehidupan yang sempurna adalah hidup yang memiliki sifat pendengaran (sam’un), penglihatan (basharun) dan perkataan (kalam). Dengan demikian secara logika akal menunjukkan kepada tujuh sifat yang wajib dimiliki Allah: hayat, qudrat, iradat, ilmu, sam’un, basharun dan kalam, begitu konsepsi logika mereka.
Berikut tanggapan dan kritikan:
1. Logika yang mengatakan bahwa akal hanya menunjukkan kepada tujuh sifat diatas, tidak benar, bahkan menurut akal sehat dan logika yang benar bahwa akal menunjukkan kepada selain tujuh sifat ma’ani diatas yang ditakwil oleh Asya’irah. Logika menunjukkan bahwa keindahan dan keagungan alam semesta selain menunjukkan kepada sifat ilmu juga menunjukkan kepada sifat hikmah yang dinafikan oleh Asya’irah.
Pengkhususan Allah sebagian hamba dengan karunia dan rahmat menunjukan kepada sifat rahmah (kasih sayang) yang ditakwil oleh Asya’irah. Sanksi dan azab yang Allah turunkan kepada sebagian kaum menunjukkan kepada sifat gadhaf (marah) yang dingkari oleh Asya’irah. Begitu seterusnya tentang banyak sifat yang dinafikan atau ditakwil oleh Asya’irah.
2. Seandainya logika tersebut benar dan bisa diterima, yaitu: akal tidak menunjukkan kepada selain tujuh sifat ma’aani, akan tetapi sama sekali tidak menunjukkan bahwa akal menafikan selain tujuh sifat tersebut, karena ketidaktahuan tentang sesuatu bukan berarti sesuatu itu tidak ada dan tidak adanya dalil yang menunjukkan kepada sesuatu bukanlah sebagai dalil bahwa sesuatu itu tidak ada.
Kalaupun benar akal tidak menunjukkan kepada selain tujuh sifat ma’aani, maka sungguh didalam al quran dan hadis terdapat banyak dalil yang menetapkan dan menunjukkan kepada sifat-sifat yang lain. Tentunya mengikuti dalil dan bepegang teguh dengan wahyu lebih utama dari mengikuti akal dan logika, terlebih lagi bila akal telah rusak dan logika sudah ngaur dan nyeleneh, karena dalil (al quran dan hadis) adalah ma’shum yang wajib diikuti sedangkan akal tidak ma’shum dan sering keliru.
Dari apa yang diutarakan jelaslah bahwa Asya’irah tidak memiliki standar yang jelas dalam pentakwilan sifat, hal ini menunjukkan akan kegoncangan metodelogi berpikir dan kerancuan konsepsi takwil yang mereka banggakan.
Kedua: Diantara standar yang mereka sebutkan adalah: persepsi tasybih, maksudnya: bahwa sifat-sifat yang bila ditetapakan tidak melazimkan makna tasyabih (menyerupai sifat makhluk) maka wajib ditetapkan, seperti tujuh sifat ma’aani diatas, adapun bila ditetapkan sebagaimana dzohirnya akan melazimkan makna/persepsi tasybih maka harus ditakwil, seperti sifat-sifat fi’liyyah: istiwa, nuzuul (turun), mahabbah (kecintaan), gadhaf (marah), dan sifat-sifat dzatiyyah khabariyyah, seperti: tangan, wajah, kaki dan yang lain.
Ini juga standar yang tidak benar dan jelas, karena tujuh sifat ma’aani yang diditetapkan oleh Asya’irah juga melazimkan makna tasybih, karena sifat-sifat tersebut dimiliki juga oleh makhluk, oleh karena itu sekte Jahmiyyah mengatakan bahwa sifat: sam’un (pendengaran) dan basharun (penglihatan) bila ditetapkan akan menunjukkan kepada makna tasybih, maka harus dita’thiil (dinafikan), makanya sekte Mu’tazilah mengingkari semua sifat Allah dan hanya menetapkan nama tanpa makna, dengan alasan yang sama, karena bila ditetapkan akan melazimkan tasybih dan juga ta’addud dzat (Allah berbilang), jelas ini suatu kebatilan.
Pertanyaan yang harus dijawab oleh Asya’irah –yang menuduh Ahlussunah sebagai Musyabbihah atau Mujassimah-, siapakah diantara Ahlussunnah wal jama’ah, Ahlulhadis, pengikut salafus sholeh yang mengatakan bahwa bila ditetapkan sifat-sifat Allah yang tertera dalam al quran dan hadis serta yang telah disepakati oleh salafus sholeh sebagaimana dzohirnya, bahwa hal itu akan melazimkan tasybih, sehingga harus ditakwil?.
Tidak seorangpun dari ahlussunah wal jama’ah, pengikut salafus sholeh yang memiliki persepsi tasybih dan mengatakan hal itu, bahkan semua sepakat dalam menetapkan sifat-sifat Allah sesuai dengan kebesaran dan keagungan-Nya, tidak serupa dengan sifat seorangpun dari makhluk, berdasarkan firman Allah:
(ليس كمثله شيء وهو السميع البصير) الشورى : 11
“Tiada sesutupun yang menyerupaiNya dan Dia maha mendengar lagi Maha melihat”.
Ketiga: Kosepsi takwil bertentangan dengan kaidah yang telah disepakati oleh seluruh ulama, yaitu: “Tidak boleh menunda jawaban/penjelasan dari waktu yang dibutuhkan”.
Maksudnya: Nabi shalallahu’alaihi wasallam tatkala menyampaikan dan membacakan ayat-ayat dan hadis-hadis tentang sifat Allah kepada para shahabat, kenapa beliau shalallahu’alaihi wasallam tidak pernah melakukan apa yang dilakukan oleh ahlulkalam (Jahmiyyah, Mu’tazilah dan Asya’irah), tidak pernah nabi shalallahu’alaihi wasallam mengatakan kepada mereka -kendati satu kali-: waspadalah!, jangan sampai kalian tetapkan nas-nas sifat tersebut sebagaimana dzohirnya, karena hal itu akan menjerumuskan kepada tasybih, dan bila yang demikian (tasybih) kalian yakini niscaya kalian akan sesat dan kafir.
Jika menurut logika Asya’irah bahwa menetapakan sifat-sifat tersebut melazimkan tasybih, kenapa Rasul shalallahu’alaihi wasallam tidak menjelaskan hal itu, sedang kondisi saat itu membutuhkan penjelasan dan peringatan, terlebih lagi hal ini merupakan perkara yang paling agung yaitu ma’rifatullah yang merupakan salah satu dari tiga landasan utama yang wajib diketahui oleh setiap individu muslim, pantaskah seorang rasul yang diutus oleh Allah -untuk menjelaskan wahyu kepada umatnya, menunjuki mereka kapada seluruh kebaikan, yang memperkenalkan mereka kepada Allah, Ilaa yang diibadati dengan penuh kecintaan dan ketundukan- tidak menjelaskan yang dimikian, jika beliau tidak menjelaskannya berarti beliau belum menjalankan tugas dalam menyampaikan wahyu, karena masih ada makna sifat yang belum dijelaskan, sehingga kaum Asya’irah, Ahluttakwil-lah yang menemukan makna yang berbeda dengan dzhohirnya yang harus diyakini !?. adakah kesesatan dan kebatilan yang lebih besar serta tuduhan yang lebih keji daripada menisbatkan suatu pernyataan yang batil atau perspesi yang negatif kepada rasul -yang diutus sebagai rahmatan lil’alamin yang diperintahkan untuk menyampaikan risalah ilahi kepada seluruh umat manusia- selain dari pernyataan diatas?
Begitu juga para shahabat sepeninggal rasul shalallahu’alaihi wasallam, tatkala menyampaikan ayat-ayat al quran dan meriwayatkan hadis-hadis sifat kepada para tabi’in, pernahkah mereka mengatakan kepada tabi’in -kendati satu kali-: waspadalah kalian, jangan sampai kalian pahami dan tetapkan nas-nas tersebut sebagaimana dzohirnya, karena yang demikian melazimkan makna tasybih, jika hal itu kalian lakukan sungguh kalian telah sesat dan kafir, karena menyerupakan Allah dengan makhluk, pernahkah pernyataan diatas dikatakan oleh para shahabat kepada para tabi’in?.
Begitu juga generasi tabi’in kepada generasi setelah mereka, tidak pernah mengatakan: waspadalah! jangan sampai kalian terima dan tetapkan nas-nas sifat tersebut sebagaimana dzohirnya, karena melazimkan makna tasybih !.
Semua pernyataan diatas tidak pernah didapatkan dalam satu hadispun dari rasul shalallahu’alaihi wasallam dan satu nukilanpun dari salafu sholeh, apakah ahlulkalam dari kalangan Mu’tazilah dan Asya’irah lebih berilmu tentang Allah dan lebih cemburu kepada agamaNya daripada rasulullah shalallahu’alaihi wasallam?, apakah mereka (ahlulkalam) lebih mulia dan berilmu daripada para shahabat radhiyallah ‘anhum, tabi’in dan tabi’ tabi’in yang merupakan tiga generasi terbaik umat islam sebagaimana persaksian Allah dan rekomendasi rasul shalallahu’alaihi wasallam?
Allah Ta’ala berfirman:
(كنتم خير أمة أخرجت للناس تأمرون بالمعروف وتنهون عن المنكر وتؤمنون بالله..) الآية [آل عمران: 110].
“Kalian adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah”.
Sabda rasulullah shalallahu’alaihi wasallam:
«خير الناس قرني، ثم الذين يلونهم، ثم الذين يلونهم..» [البخاري رقم: 2652، ومسلم، رقم: 2533].
“Manusia yang terbaik adalah (yang hidup) dikurunku (shahabat), kemudian orang-orang datang setelah mereka (tabi’in), kemudian orang-orang datang setelah mereka (tabi’ tabi’in)”. H.R Bukhari dan Muslim.
Keempat: sesungguhnya konsepsi takwil menunjukkan kepada bolehnya menggunakan nama/istilah yang jelek/tercela untuk kebaikan/pujian, tentu ini adalah perkara yang batil menurut akal sehat.
Karena sebagaimana yang dimaklumi dalam akidah ahlussunah wal jama’ah: penisbatkan sifat kepada Allah adalah penisbatan yang hakiki sebagaimana dzohirnya yang mengandung makna pujian bagi Allah dan menunjukkan kepada keagungan dan kemulian yang dimilikinya. Akan tetapi menurut teori takwil bahwa penisbatan sifat kepada Allah -seperti istiwa- adalah majazi bukan hakiki (sesungguhnya), sama dengan penisbatan iradah kepada dinding dalam firman Allah:
(فوجد جدارا يريد أن ينقضَّ)[الكهف:77].
“Maka Musa mendapatkan sebuah dinding yang ingin runtuh”.
Dan seperti penisbatan sayap kepada kerendahan/ketundukkan (adz-dzull) dalam firman Allah:
(واخفض لهما جناح الذل) [الإسراء: 24].
“Dan rendahkanlah bagi keduanya sayap ketundukkan..”.
Menurut mereka (ahlutakwil) bahwa penisbatan iradah kepada dinding dan sayap kepada ketundukkan adalah penisbatan yang tidak hakiki tetapi majazi, dengan demikian penisbatan sifat kepada Allah adalah penisbatan majazi bukan hakiki, maka harus ditakwil.
Bila diperhatikan, bahwa penisbatan iradah kepada dinding dan penisbatan sayap kepada ketundukan secara hakikipun tidak menjadikan keduanya tercela, tetapi anehnya dalam konsepsi takwil penisbatan sifat kepada Allah secara hakiki sesuai dzohirnya-yang mangandung makna pujian dan pengagungan kepada Allah- seperti: istiwa, nuzuul (turun), tangan dll, mengandung celaan karena melazimkan makna tasybih (!), dan tidak diragukan bahwa tasybih adalah kebatilan bahkan kekufuran. Dengan demikian berdasarkan konsepsi takwil terjadi penggunaan istilah pujian untuk mencela atau meminjam nama yang baik untuk kejelekan (!).
Disisi lain, kelaziman dari persepsi ahlu takwil adalah bahwa Allah memuji diriNya sendiri dengan mencelaNya, kerena penisbatan sifat-sifat tersebut mengandung kebatilan dan kekufuran yaitu tasybih (!), maha suci Allah Ta’ala dari kesesatan dan persepsi negatif mereka.
Kesimpulan konsepsi ahlut takwil Bahwa Allah ingin memuji diriNya dengan mencela untuk memuji diriNya, karena Allah telah menisbatkan kecintaan (mahabbah) kepada diriNya terhadap orang orang yang beriman, sebagai bentuk pujian dan kemulian, akan tetapi menurut ahluttakwil (Asya’irah dan yang lain) bahwa yang demikian itu adalah majazi bukan hakiki, karena bila ditetapkan kecintaaan hakiki sebagaimana dzohirnya tentu hal itu melazimkan tasybih (!), begitu teori logika mereka yang rancu dan nyeleneh dalam menyikapi sifat-sifat yang lain.
Tentu yang demikian itu tidak akan dilakukan oleh manusia yang paling jahil, apalagi Allah Ta’ala Rabbul’alamin Yang Maha Sempurna lagi Maha Berilmu dan Maha Bijaksana.
Jika benar konsepsi takwil (!), tentu konsekuensinya adalah bahwa al quran adalah kitab yang penuh dengan makna yang jelek dan penisbatan celaan kepada dzat Allah yang Maha Mulia lagi Agung !, tentu ini adalah kebatilan yang sangat nyata.
Kelima: Persepsi negatif tentang sifat bila ditetapkan sebagaimana dzohirnya akan melazimkan tasybih, tidak pernah terbesit dalam benak pikiran para shahabat radhiyallah ‘anhum yang banyak membaca al quran dan hadis-hadis nabi shalallahu’alaihi wasallam, tidak seorangpun dari mereka yang mempermasalahkan ayat-ayat dan hadis-hadis sifat, mereka tidak pernah mengatakan kepada rasul: wahai Rasulullah ! ayat yang engkau bacakan dan hadis yang engkau sampaikan bermasalah karena bila ditetapkan sebagaimana dzohirnya akan melazimkan tasybih!, sama sekali tidak pernah hal itu terjadi, bahkan kondisi mereka begitu mendengar ayat-ayat dan hadis-hadis tersebut semakin bertambah keimanan mereka dan pengagungan kepada Allah, mereka yakini secara hakiki sifat tersebut sebagaimana dzohirnya sesuai dengan kebesaran dan keagungan Allah Ta’ala.
Keenam: Konsep takwil ahlul kalam (Asya’iarah dan yang lain) menyelisihi ijmak salafus sholeh, tidak seorangpun dari shahabat nabi shalallahu’alaihi wasallam yang mentakwil satupun dari sifat sifat Allah Ta’ala, sedang riwayat dan perkataan mereka sangat banyak tentang tafsir al qur’an, begitu juga penjelasaan tentang hadis nabi shalallahu’alaihi wasallam.
Tidak diragukan bahwa para shahabat radhiyallah ‘anhum sungguh telah mengetahui makna ayat-ayat al quran yang diajarkan oleh nabi kepada mereka, termasuk ayat-ayat tentang sifat, kenapa tidak, metodelogi mereka yang sangat evektif dalam mempelajari al qur’an sungguh menunjukkan akan hal itu; mereka mempelajari sepuluh-sepuluh ayat dan tidak berpindah kepada ayat yang lain sampai mereka memahami isi kandungannya dan pengamalannya.
Ibnu Ma’sud radhiyallah ‘anhu mengatakan:
“كان الرجل منا إذا تعلم عشر آيات لم يجاوزهن حتى يعرف معانيهن، والعمل بهن” [رواه الطبري في تفسيره (1/ 80)] انظر: تفسير ابن كثير (1/8) .
“Salah seorang dari kami apabila mempelajari sepuluh ayat (al quran), tidaklah ia melewatinya sampai mengetahui makna (isi kandungan)nya dan cara pengamalannya”.
Abu Abdirrahman As-Sulami (wafat: 74 H) rahimahullah mengatakan:
“حدثنا الذين كانوا يقرئوننا أنهم كانوا يستقرئون من النبي صلى الله عليه وسلم، فكانوا إذا تعلموا عشر آيات لم يخلفوها حتى يعملوا بما فيها من العمل، فتعلمنا القرآن والعمل جميعا” [رواه الطبري في تفسيره (1/ 80] انظر: تفسير ابن كثير (1/8) .
“Para shahabat yang mengajarkan kepada kami al qur’an menceritakan bahwa sesungguhnya mereka belajar al quran dari nabi shalallahu’alaihi wasallam, mereka apabila belajar sepuluh ayat, tidaklah berpindah kepada ayat lain sampai mereka mengamalkan isi kandungannya, sehingga mereka mempelajari ilmu dan pengamalannya secara bersamaan”.
Begitu juga generasi tabi’in, mereka sungguh telah mempelajari makna al quran dan memahaminya, sebagai contoh: Imam Mujahid rahimahullah yang merupakan murid senior Ibnu Abbas radhiyallah ‘anhuma, yang telah menamatkan berulang kali membaca al qur’an dan mempelajarinya bersama Ibnu Abbas yang telah mendapatkan keberkahan do’a nabi shalallahu’alaihi wasallam:
(اللهم فقهه في الدين وعلمه التأويل) [رواه الإمام أحمد في المسند (رقم: 2397، 2879)]
“Ya Allah, berikan kepadanya pemahaman tentang agama dan ajarkan kepadanya takwil (tafsir al qur’an)”.
Mujahid (wafat:104 H) rahimahullah mengatakan:
“قرأت القرآن على ابن عباس مرتين، أقفه عند كل آية وأسأله عنها”. [انظر: تفسير ابن كثير: 1/45] “Aku telah membacakan (mempelajari) al qu’an kepada Ibnu Abbas dua kali, aku menghentikan beliau disetiap ayat dan bertanya kepadanya tentang (maksud) ayat tersebut”.
Sebagian riwayat menyebutkan: tiga kali, beliau tanyakan kepada Ibnu Abbas ayat demi ayat sampai selesai, dan tidak diragukan termasuk kedalam hal tersebut adalah ayat-ayat sifat.
Bersamaan dengan hal itu, tidak satupun ada nukilan dari para shahabat dan tabi’in dan riwayat yang mentakwil ayat-ayat sifat dengan alasan bahwa bila ditetapkan sebagaimana dzohirnya akan melazimkan tasybih, sama sekali tidak didapatkan pernyataan yang demikan, kendati ahlulkalam berusaha menisbatkan sebagian takwil kepada shahabat dan tabi’in, akan tetapi hal itu sungguh tidak benar dari mereka rahimahumullah.
Hal ini menunjukan bahwa konsepsi takwil sungguh bertentangan dengan ijmak para salafus sholeh radhiyallah ‘anhum, cukuplah ini sebagai bukti kebatilan takwil dan kesesatanya.
Ketuju: Konsepsi takwil bertentangan dengan maksud penjelasan, bimbingan dan kemudahan yang terdapat dalam al qur’an, karena al quran sungguh telah dimudahkan oleh Allah ta’ala untuk dibaca dan ditadabur, sebagaimana firman Allah:
(ولقد يسرنا القرآن للذكر فهل من مذكر) [القمر: 17].
“Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan Al-Quran untuk pelajaran (dibaca dan tadabur), maka adakah orang yang mengambil pelajaran”.
Allah berfirman:
(هذا بيان للناس) [آل عمران: 138]
“Ini adalah penjelasan bagi manusia”.
Sebagaimana yang telah dimaklumi bahwa al quran adalah kitab petunjuk, rahmat dan kabar gembira bagi kaum muslimin serta sungguh sangat jelas, akan tetapi berdasarkan konsepsi takwil semua hal itu menjadi samar, tidak jelas dan sulit dipahami bahkan mendatangkan petaka, karena semua yang berkaitan dengan sifat-sifat Allah bukan hakiki tetapi majazi yang bila ditetapkan sebagaimana dzohirnya akan melazimkan tasybih dan tasybih adalah kesesatan bahkan kekufuran.
Wallahu a’lam
Bersambung……
Ditulis oleh: Muhammad Nur Ihsan
Jember: 16 Dzulhijjah 1441 H
06 Agustus 2020 M