Beranda » Arsip Tag:Ramadhan

Arsip Tag:Ramadhan

RAMADHAN BULAN AL QUR’AN

RAMADHAN BULAN AL QUR’AN

 

Allah telah memilih bulan ramadhan untuk menurunkan kitab suci Nya. Bahkan seluruh kitab samawi seperti taurat , injil dan Zabur diturunkan dari langit pada bulan Ramadhan. Sungguh alangkah mulianya bulan yang penuh berkah ini, maka berbahagialah orang yang berjumpa dengan bulan Ramadhan.

Allah Ta’ala berfirman :

شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِيَ أُنزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِّنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ

Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan Al Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil)“. (QS Al Baqarah : 185)

Allah Ta’ala juga berfirman :

إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ

Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Quran) pada malam kemuliaan”. (QS Al Qadr : 1).

Allah Ta’ala berfirman :

إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُبَارَكَةٍ إِنَّا كُنَّا مُنْذِرِينَ

Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan”. (QS Ad Dukhan : 3).

Watsilah bin Al Asqa’ radhiyallahu anhu meriwayatkan dari Nabi shalallahu alaihi wasallam bersabda :

أُنْزِلَتْ صُحُفُ إِبْرَاهِيمَ فِيْ أَوَّلِ لَيْلَةٍ مِنْ رَمَضَانَ، وَأُنْزِلَتِ التَّوْرَاةُ لِسِتٍّ مَضَيْنَ مِنْ رَمَضَانَ وَالْإِنْجِيلُ لِثَلَاثَ عَشْرَةَ خَلَتْ مِنْ رَمَضَانَ، وَأُنْزِلَ الْقُرْآنُ لِأَرْبَعٍ وَعِشْرِيْنَ خَلَتْ مِنْ رَمَضَانَ

Suhuf Ibrahim diturunkan pada malam pertama dibulan Ramadhan, sedangkan Taurat pada hari ke enam di bulan Ramadhan, adapun injil pada hari ke tiga belas berlalu dari bulan Ramadhan, dan diturunkan Al Qur’an pada hari ke dua puluh empat berlalu dari bulan Ramadhan”. (HR Ahmad, 4/107: 16984).

Al Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata : “Allah Ta’ala memuji bulan Ramadhan dari bulan-bulan lainnya, Dia telah memilihnya diantara semua bulan sebagai bulan yang padanya diturunkan Al Qur’an yang agung. Sebagaimana Allah Ta’ala telah mengkhususkan seperti terdapat dalam Hadits Bahwasannya Bulan Ramadhan juga padanya diturunkan Kitab-kitab Ilahiyyah kepada para Nabi ‘Alaihimus Salam. Adapun Shuhuf (Ibrahim), Taurat, Injil dan Zabur diturunkan kepada para Nabi secara sekaligus. Sementara Al Qur’an diturunkan secara sekaligus ke Baitul ‘Izzah di Langit Dunia dan itu terjadi di bulan Ramadhan pada malam lailatul Qadar, sebagaimana Firman Allah Ta’ala : “Sesungguhnya Kami telah menurunkan Al Qur’an pada malam lailatul Qadar”. Dan Firman Allah Ta’ala : “Sesungguhnya Kami telah menurunkan Al Qur’an di malam yang penuh berkah”, Kemudian Al Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad shalallahu alaihi wasallam secara bertahap sesuai dengan peristiwa”. (Shahihu Tafsiri Ibni Katsir, Mushthafa Al ‘Adawi 1/210).

Al Imam Ibnu Jarir At Thabari rahimahullah berkata :

Al Qur’an diturunkan dari Lauhil Mahfudz ke langit dunia pada malam lailatul Qadar di Bulan Ramadhan, lalu Allah Ta’ala menurunkannya kepada Nabi Muhammad shalallahu alaihi wasallam sesuai dengan yang dikehendaki-Nya”. (Tafsir At Thabari 2/114).

Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu anhuma ia berkata :

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَجْوَدَ النَّاسِ، وَكَانَ أَجْوَدُ مَا يَكُونُ فِي رَمَضَانَ حِينَ يَلْقَاهُ جِبْرِيلُ، وَكَانَ يَلْقَاهُ فِي كُلِّ لَيْلَةٍ مِنْ رَمَضَانَ فَيُدَارِسُهُ القُرْآنَ، فَلَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَجْوَدُ بِالخَيْرِ مِنَ الرِّيحِ المُرْسَلَةِ

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah manusia paling dermawan, terutama pada bulan Ramadlan ketika malaikat Jibril ‘Alaihissalam mendatanginya, dan Jibril ‘alaihissalam mendatanginya setiap malam bulan Ramadlan dan dia mengajarkan Al Qur’an kepada Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam. Sungguh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika didatangi Jibril ‘alaihissalam kedermawanannya jauh melebihi daripada angin yang berhembus“. (HR Bukhari : 1902, Muslim : 2308)

Diantara dalil yang menunjukan bulan Ramadhan adalah bulan puasa dan bulan Al Qur’an adalah di gandengkannya puasa dengan Al Qur’an yang akan member syafa’at pada hari kiamat.

Dari Abdullah bin ‘Amer radhiyallahu anhuma, Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda :

الصِّيَامُ وَالْقُرْآنُ يَشْفَعَانِ لِلْعَبْدِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، يَقُولُ الصِّيَامُ: أَيْ رَبِّ , مَنَعْتُهُ الطَّعَامَ وَالشَّهَوَاتِ بِالنَّهَارِ , فَشَفِّعْنِي فِيهِ، وَيَقُولُ الْقُرْآنُ: مَنَعْتُهُ النَّوْمَ بِاللَّيْلِ , فَشَفِّعْنِي فِيهِ، قَالَ: فَيُشَفَّعَانِ

Puasa dan Al Qur’an akan member syafa’at kepada seorang hamba pada hari kiamat, Puasa berkata, Wahai Rabb, aku telah mencegahnya dari makan dan syahwat disiang hari, maka berilah syafa’at melaluiku kepadanya, Al Qur’an berkata,Aku telah mencegahnya dari tidurnya di waktu malam, maka berilahsyafa’at melaluiku kepadanya, Maka keduanya pun memberinya syafa’at” (HR Ahmad : 6626, di shahihkan oleh Al Albani pada Shahihul Jaami’ : 3882)

Sungguh para salafus shalih sangat besar perhatian mereka terhadap Al Qur’an khususnya di bulan Ramadhan, bahkan mereka menyibukan diri dengan Al Quran dibandingkan urusan lainnya. Lihatlah bagiamana Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bertadarus Al Quran dengan Malaikat Jibril alaihis salam disetiap malam romadhan. Bahkan didalam riwayat dari Hudzaifah bin Al Yaman radhiyallahu anhu bahwa Rasulullah shalallahu alaihi wasallam shalat malam dengan membaca surat Al Baqarah, lalu disambung dengan surat An Nisa lalu dengan surat Ali Imran. (HR Muslim : 772).

‘Auf bin Malik mengatakan, “Aku pernah bermakmum shalat malam kepada Rasulullah shalallahu alaihi wasallam, lalu beliau membaca surat Al Baqarah, maka tidaklah beliau melewati ayat ayat rahmat melainkan berhenti lalu memohon rahmat, dan tidaklah beliau melewati ayat ayat adzab melainkan beliau berhenti dan berlindung darinya” (HR Abu Dawud : 873).

Keadaan para salafus shalih berinteraksi bersama Al Qura’an pada bulan Ramadhan :

Imam Ibnu Rojab rahimahullah menggambarkan bagaimana keadaan salafus shalaih bersama Al Qur’an pada bulan Ramadhan, beliau rahimahullah berkata :

[1] Salafus Shalih sibuk dengan Al Qur’an.

وَكَانَ السَّلَفُ يَتْلُوْنَ الْقُرْآنَ فِيْ شَهْرِ رَمَضَانَ فِيْ الصَّلَاةِ وَغَيْرِهَا

Adalah salafus shalih kebiasaan mereka membaca Al Quraan baik didalam shalat ataupun diluar shalat”

[2] Qotadah rahimahullah :

وَكَانَ قَتَادَةُ يَخْتِمُ فِيْ كُلِّ سَبْعٍ دَائِمًا، وَفِيْ رَمَضَانَ فِيْ كُلِّ ثَلَاثٍ، وَفِيْ الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ كُلَّ لَيْلَةٍ.

Adalah Qotadah rahimahullah senantiasa dalam kesehariannya mengkhatamkan Al Quran setip tujuh hari , dibulan Ramadhan setiapa tiga hari dan pada saat sepuluh malam yang akhir setiap malam

[3] Az Zuhri rahimahullah.

Beliau rahimahullah apabila masuk bulan Ramadhan mengatakan :

فَإِنَّمَا هُوَ تِلَاوَةُ الْقُرْآنِ وَإِطْعَامُ الطَّعَامِ.

Ramadhan adalah bulan membaca Al Quran dan memberi makan“.

[4] Sufyan As Tasuri rahimahullah.

Abdurazaq rahimahullah berkata :

كَانَ سُفْيَانُ الثَّوْرِيُّ إِذَا دَخَلَ رَمَضَانَ تَرَكَ جَمِيْعَ الْعِبَادَةِ وَأَقْبَلَ عَلَى قِرَاءَةِ الْقُرْآنِ

Sufyan Tsauri kalau memasuki bulan Ramadhan beliau meninggalkan semua ibadah dan hanya fokus pada membaca Al Quran

[5] Imam Malik bin Anas rahimahullah :

Ibnu Abdul Hakam rahimahullah berkata :

كَانَ مَالِكٌ إِذَا دَخَلَ رَمَضَانَ يَفِرُّ مِنْ قِرَاَءةِ الْحَدِيْثِ، وَمُجَالَسَةِ أَهْلِ الْعِلْمِ، وَأَقْبَلَ عَلَى تِلَاوَةِ الْقُرْآنِ مِنَ الْمُصْحَفِ.

Adalah Malik rahimahullah apabila masuk bulan Ramadhan beliau meninggalkan majlis membaca haditsnya, dan majlis ilmunya, beliau fokus kepada membaca Al Quran dari mushaf

[6] Zubaid Al Yami rahimahullah :

Sufyan As Tsauri rahimahullah berkata :

كَانَ زُبَيْدُ اَلْيَامِيُّ إِذَا حَضَرَ رَمَضَانُ أَحْضَرَ المَصَاحِفَ وَجَمع إِلَيْهِ أَصْحَابُهُ

Adalah Zubaid Al Yami apabila masuk bulan Ramadhan beliau keluarkan mushaf dan para sahabatnya berkumpul kepadanya

[7] Imam As Syafi’i rahimahullah :

Ar Rabi’ bin Sulaiman rahimahullah berkata :

كَانَ لِلشَّافِعِيِّ فِي كُلِّ شَهْرٍ ثَلَاثُونَ خَتْمَةً وَفِي شَهْرِ رَمَضَانَ سِتُّونَ خَتْمَةً سِوَى مَا يَقْرَأُ فِي الصَّلَاةِ. وعن أبي حنيفة نحوه

Imam Syafi’I rahimahullah setiap bulan terbiasa mengkhatamkan Al Qur’an 30 kali, dan pada bulan Ramadhan mengkhatamkan Al Qur’an sebanyak 60 kali selain yang di baca didalam shalat, demikian juga ada riwayat dari Imam Abu Hanifah yang serupa

[8] Imam Az Zuhri rahimahullah :

وكان الزهري إذا دخل شهر رمضان يفر من قراءة الحديث ومن مجالسة أهل العلم ويُقبل على تلاوة القرآن من المصحف

Az Zuhri rahimahullah kalau masuk bulan Romadhan beliau meninggalakan membaca hadits (mengkaji hadits), dan meninggalkan majlis para ahli ilmu, beliau fokus dengan membaca Al Qur’an dari mushaf

Demikianlah keadaan interaksi salafus shalih dengan al Qur’an dibulan ramadhan, mereka sudah terbiasa membaca al Qur’an dari mushaf mushaf mereka pada hari hari biasa, dan tentunya hal ini akan lebih ditingkatkan lagi ketika mereka memasuki bulan Ramadhan.

Lalu bagaimana dengan kita ? sudah berapa juz sampai saat ini? Masih ada waktu, jangan putus asa saudaraku, semoga Allah memudahkan kita. Wallahu waliyut Taufiq

 

Ustadz Abu Ghozie As Sundawie

————————

Mau dapat Ilmunya ?
Mau dapat pahalanya ?
Silahkan ikuti link dibawah ini dan jangan lupa tag, mention, like, subscribe, follow serta comment

🌐 Web: https://multaqaduat.com
🎬 Youtube: https://youtube.com/c/MultaqaDuatIndonesia
🐝 Instagram: http://instagram.com/multaqa_duat_indonesia
📫 Telegram: https://t.me/multaqaduat
📮 Twitter: https://twitter.com/MultaqaI?s=08
💻 Facebook: https://www.facebook.com/multaqa2020/

Share yuk!!! Ikhwah!! Semoga kita dan saudara² mendapatkan faidah ilmu dari yang antum bagikan dan menjadi pembuka amal² kebaikan bagi antum yang telah menunjukkan kebaikan.

Semoga istiqomah dan mudah-mudahan program MDI ini menjadi pintu Hasanat, Barokah dan Jariyah untuk kita semua. Aamiin…

Jazakumullah khair ala TA’AWUN

YANG PERTAMA KALI MELAKUKAN SHALAT TARAWIH

YANG PERTAMA KALI MELAKUKAN SHALAT TARAWIH

 

Tarawih artinya istirahat, dinamakan demikian karena mereka beristirahat pada setiap empat raka’at. (Lisanul ‘Arab 2/462, kamus Al-Muhith hal. 282).

Penekanan anjuran shalat malam pada malam-malam bulan Ramadhan adalah berdasarkan hadits ‘Aisyah radhiyallahu anha ia berkata:

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَرَجَ لَيْلَةً مِنْ جَوْفِ اللَّيْلِ، فَصَلَّى فِي المَسْجِدِ، وَصَلَّى رِجَالٌ بِصَلاَتِهِ، فَأَصْبَحَ النَّاسُ فَتَحَدَّثُوا، فَاجْتَمَعَ أَكْثَرُ مِنْهُمْ فَصَلَّى فَصَلَّوْا مَعَهُ، فَأَصْبَحَ النَّاسُ فَتَحَدَّثُوا، فَكَثُرَ أَهْلُ المَسْجِدِ مِنَ اللَّيْلَةِ الثَّالِثَةِ، فَخَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَصَلَّى فَصَلَّوْا بِصَلاَتِهِ، فَلَمَّا كَانَتِ اللَّيْلَةُ الرَّابِعَةُ عَجَزَ المَسْجِدُ عَنْ أَهْلِهِ، حَتَّى خَرَجَ لِصَلاَةِ الصُّبْحِ، فَلَمَّا قَضَى الفَجْرَ أَقْبَلَ عَلَى النَّاسِ، فَتَشَهَّدَ، ثُمَّ قَالَ: «أَمَّا بَعْدُ، فَإِنَّهُ لَمْ يَخْفَ عَلَيَّ مَكَانُكُمْ، وَلَكِنِّي خَشِيتُ أَنْ تُفْتَرَضَ عَلَيْكُمْ، فَتَعْجِزُوا عَنْهَا»، فَتُوُفِّيَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالأَمْرُ عَلَى ذَلِكَ

Sesungguhnya Rasulullah ﷺ keluar pada waktu tengah malam, lalu beliau shalat di masjid, dan shalatlah beberapa orang bersama beliau. Di pagi hari, orang-orang memperbincangkannya.Ketika Nabi amengerjakan shalat (di malam kedua), banyaklah orang yang shalat di belakang beliau.Di pagi hari berikutnya, orang-orang kembali memperbincangkannya.Di malam yang ketiga, jumlah jamaah yang di dalam masjid bertambah banyak, lalu Rasulullah shalallahu alaihi wasallam keluar dan melaksanakan shalatnya.Pada malam keempat, masjid tidak mampu lagi menampung jamaah, sehingga Rasulullah ahanya keluar untuk melaksanakan shalat Subuh.Tatkala selesai shalat Subuh, beliau menghadap kepada jamaah kaum muslimin, kemudian membaca syahadat dan bersabda, ‘Sesungguhnya kedudukan kalian tidaklah samar bagiku, aku merasa khawatir ibadah ini diwajibkan kepada kalian, lalu kalian tidak sanggup melaksanakannya.”Rasulullah shalallahu alaihi wasallam wafat dan kondisinya tetap seperti ini. (HR. al-Bukhari : 924, Muslim : 761).

Di dalam Hadits Abu Dzar radhiyallahu anhu , Rasulullah ﷺ bersabda,

إِنَّهُ مَنْ قَامَ مَعَ الإِمَامِ حَتَّى يَنْصَرِفَ كَتَبَ اللَّهُ لَهُ قِيَامَ لَيْلَةٍ

Bahwasanya Barang siapa yang ikut shalat (tarawih) bersama Imam sampai selesai maka dicatat baginya seperti shalat semalam suntuk”. (HR Abu dawud : 1375, Ahmad 5/159, shahih Sunan Nasa’I 1/353).

Hadits diatas menunjukan disyari’atkannya shalat tarawih dengan berjama’ah dan yang pertama kali mempraktekkannya adalah Rasulullah ﷺ bukan Umar Bin Al-Khattab radhiyallahu anhu sebagaimana yang disangka sebagian orang,

Umar radhiyallahu anhu hanyalah menghidupkan kembali yang sempat ditinggalkan pada masa Rasulullah shalallahu alaihi wasallam karena kekhawatiran di wajibkan tersebut, demikian juga pada masa Abu Bakar radhiyallahu anhu belum sempat dihidupkan kembali karena berbagai macam kesibukan mengurusi urusan-urusan umat, sehingga barulah bisa terlaksana pada masa pemerintahan Umar bin al-Khattab radhiyallahu anhu.

Oleh karena itu tatkala menyaksikan lentera-lentera masjid bergelantungan menerangi masjid pada malam bulan Ramadhan, Ali bin Abi Thalib radhiyallahu anhu berkata, “Semoga Allah Ta’ala menerangi kuburnya Umar radhiyallahu anhu sebagaimana ia telah berjasa terangnya masjid kami“ maksudnya karena shalat Tarawih. (HR Ibnu Asakir, at-Tarikh 44/280, At-Tamhid, Ibnu Abdil Barr 8/119). Wallahu waliyyut Taufiq

Ustadz Abu Ghozie As Sundawie

————————

Mau dapat Ilmunya ?
Mau dapat pahalanya ?
Silahkan ikuti link dibawah ini dan jangan lupa tag, mention, like, subscribe, follow serta comment

🌐 Web: https://multaqaduat.com
🎬 Youtube: https://youtube.com/c/MultaqaDuatIndonesia
🐝 Instagram: http://instagram.com/multaqa_duat_indonesia
📫 Telegram: https://t.me/multaqaduat
📮 Twitter: https://twitter.com/MultaqaI?s=08
💻 Facebook: https://www.facebook.com/multaqa2020/

Share yuk!!! Ikhwah!! Semoga kita dan saudara² mendapatkan faidah ilmu dari yang antum bagikan dan menjadi pembuka amal² kebaikan bagi antum yang telah menunjukkan kebaikan.

Semoga istiqomah dan mudah-mudahan program MDI ini menjadi pintu Hasanat, Barokah dan Jariyah untuk kita semua. Aamiin…

Jazakumullah khair ala TA’AWUN

HEMAT ENERGI DIMALAM HARI ROMADHAN

HEMAT ENERGI DIMALAM HARI RAMADHAN

 

Sahabat Abu Dzar radhiyallahu anhu mengatakan :

صُمْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمْ يُصَلِّ بِنَا حَتَّى بَقِيَ سَبْعٌ مِنْ الشَّهْرِ فَقَامَ بِنَا حَتَّى ذَهَبَ ثُلُثُ اللَّيْلِ ثُمَّ لَمْ يَقُمْ بِنَا فِي السَّادِسَةِ وَقَامَ بِنَا فِي الْخَامِسَةِ حَتَّى ذَهَبَ شَطْرُ اللَّيْلِ فَقُلْنَا لَهُ يَا رَسُولَ اللَّهِ لَوْ نَفَّلْتَنَا بَقِيَّةَ لَيْلَتِنَا هَذِهِ فَقَالَ إِنَّهُ مَنْ قَامَ مَعَ الْإِمَامِ حَتَّى يَنْصَرِفَ كُتِبَ لَهُ قِيَامُ لَيْلَةٍ ثُمَّ لَمْ يُصَلِّ بِنَا حَتَّى بَقِيَ ثَلَاثٌ مِنْ الشَّهْرِ وَصَلَّى بِنَا فِي الثَّالِثَةِ وَدَعَا أَهْلَهُ وَنِسَاءَهُ فَقَامَ بِنَا حَتَّى تَخَوَّفْنَا الْفَلَاحَ قُلْتُ لَهُ وَمَا الْفَلَاحُ قَالَ السُّحُورُ

Kami puasa bersama Rasulullah ﷺ , dan beliau tidak shalat tarawih bersama kami hingga tinggal sisa tujuh hari dari bulan Ramadhan. Kemudian beliau tarawih bersama kami sampai menghabiskan sepertiga malam. Beliau tidak shalat tarawih bersama kami pada (sisa) malam keenam, dan (sisa) malam kelima beliau shalat tarawih bersama kami sampai separo malam. Kami lalu bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana bila engkau habiskan sisa malam ini untuk mengerjakan tarawih bersama kami?’ Beliau bersabda, “Barangsiapa yang shalat tarawih bersama imam hingga imam selesai maka dicatat baginya shalat semalam suntuk. Kemudian beliau tidak shalat bersama kami hingga tinggal sisa tiga malam dari bulan Ramadhan. Pada (sisa) malam ketiga beliau shalat bersama kami dan mengajak keluarga serta istri-istri beliau. Beliau shalat tarawih bersama kami sampai kami khawatir tiba saat falah” Aku bertanya kepadanya, “Apakah falah itu? Ia menjawab, “Sahur.” (HR Tirmidzi : 806, Ibnu Majah : 1327, Abu Dawud : 1375, An Nassai : 1364)

PELAJARAN DARI HADITS DIATAS :

[1] Rasulullah ﷺ adalah orang yang pertama kali mencontohkan shalat tarawih bersama para sahabatnya walaupun beliau melakukannya hanya beberapa malam saja dan bukan Umar bin Khattab radhiyallahu anhu yang pertama kali melakukan sholat tarawih berjamaah.

Hal ini karena beliau khawatir kalau tarawih akan diwajibkan oleh Allah sehingga memberatkan kepada umatnya.

Ketika beliau ditunggu para sahabatnya untuk tarawih di masjid dan ternyata beliau tidak keluar untuk shalat, lalu esok harinya beliau menyatakan alasannya :

«رَأَيْتُ الَّذِي صَنَعْتُمْ فَلَمْ يَمْنَعنِي مِنْ الْخُرُوجِ إلَيْكُمْ إلَّا أَنِّي خَشِيتُ أَنْ تُفْتَرَضَ عَلَيْكُمْ»

Aku tahu apa yang kalian lakukan semalam dan tidak ada yang menghalangiku untuk shalat tarawih bersama kalian kecuali aku khawatir tarawih ini akan diwajibkan kepada kalian” (HR Bukhari : 2012).

[2] Para sahabat adalah kaum yang sangat bersemangat beribadah, sehingga ketika ada sisa waktu separoh malam untuk shalat, mereka masih mengajak shalat kepada Rasulullah ﷺ untuk menghabiskan malam seluruhnya dengan shalat tarawih.

[3] Rasulullah ﷺ betapa sayangnya kepada umatnya, khawatir kewajiban yang berat menimpa umatnya, sehingga beliau tidak merutinkan shalat tarawih berjamaah di masjid.

[4] Perkataan Nabi ﷺ kepada para sahabatnya yang ingin meneruskan shalat malam sampai subuh padahal mereka sudah shalat tarawih bersama Rasulullah ﷺ :

إِنَّهُ مَنْ قَامَ مَعَ الْإِمَامِ حَتَّى يَنْصَرِفَ كُتِبَ لَهُ قِيَامُ لَيْلَةٍ

Barangsiapa yang shalat tarawih bersama imam hingga imam selesai maka dicatat baginya shalat semalam suntuk”.

Hal ini menunjukan bahwa yang sudah tarawih bersama imam TIDAK PERLU untuk shalat malam LAGI di rumah, akan tetapi kalau ia mau mengisinya dengan ibadah yang lain misalnya dengan membaca Al Qur’an atau berdzikir dan berdo’a, sebagi bentuk menghemat energi untuk persiapan nanti di sepuluh malam yang akhir di bulan ramadhan.

[5] Waktu tarawih yang dilakukan Rasulullah ﷺ bervariativ pernah sampai SEPERTIGA malam, pernah sampai SEPAROH malam, bahkan pernah sampai MENJELANG waktu sahur.

[6] Terkadang beliau ﷺ mengajak keluarganya ke masjid untuk shalat tarawih, hal ini menunjukan bagi kaum wanita di bolehkan keluar rumah untuk berjamaah shalat tarawih dengan syarat aman dari fitnah.

[7] Tidak terlarang bagi yang sudah tarawih bersama imam untuk menambah shalat malamnya di rumah akan tetapi dengan catatan tidak melakukan witir dua kali apabila sudah witir bersama imamnya.

Rasulullah ﷺ bersabda :

لَا وِتْرَانِ فِى لَيْلَةٍ

Tidak boleh ada dua witir dalam satu malam.” (HR. Abu Daud 1441, Nasai 1679; dan disahihkan Syu’aib al-Arnauth)

Dalam Fatwa Lajnah Daimah disebutkan, : “Jika Anda shalat tarawih bersama imam maka yang lebih utama adalah melakukan witir bersama imam, agar mendapatkan pahala sempurna, sebagaimana disebutkan dalam hadis, ‘Barang siapa yang ikut shalat tarawih berjemaah bersama imam sampai selesai maka untuknya itu dicatat seperti shalat semalam suntuk.’ (HR. Abu Daud dan Turmudzi). Jika Anda bangun di akhir malam dan ingin menambah shalat maka silakan shalat sesuai keinginan, namun tanpa witir, karena tidak ada dua kali witir dalam semalam.” (Fatwa Lajnah Daimah, 6/45). Demikian semoga bermanfa’at, Wallahu waliyyut Taufiq.

Ustadz Abu Ghozie As Sundawie

————————

Mau dapat Ilmunya ?
Mau dapat pahalanya ?
Silahkan ikuti link dibawah ini dan jangan lupa tag, mention, like, subscribe, follow serta comment

🌐 Web: https://multaqaduat.com
🎬 Youtube: https://youtube.com/c/MultaqaDuatIndonesia
🐝 Instagram: http://instagram.com/multaqa_duat_indonesia
📫 Telegram: https://t.me/multaqaduat
📮 Twitter: https://twitter.com/MultaqaI?s=08
💻 Facebook: https://www.facebook.com/multaqa2020/

Share yuk!!! Ikhwah!! Semoga kita dan saudara² mendapatkan faidah ilmu dari yang antum bagikan dan menjadi pembuka amal² kebaikan bagi antum yang telah menunjukkan kebaikan.

Semoga istiqomah dan mudah-mudahan program MDI ini menjadi pintu Hasanat, Barokah dan Jariyah untuk kita semua. Aamiin…

Jazakumullah khair ala TA’AWUN

PROGRAM IFTHAR RAMADHAN MULTAQADUATINDONESIA (MDI), THN 1443 H/ 2022 M

PROGRAM IFTHAR RAMADHAN MULTAQADUATINDONESIA (MDI), THN 1443 H/ 2022 M

Dengan mengharap rahmat dan kemudahan dari Allah, Multaqo Du’at Indonesia (MDI) membuka program Ifthar untuk daerah Pedalaman dan Minoritas Dakwah

📘 Rasulullah Shallallaahu’alaihi ‘alaihi wa sallam bersabda: “Siapa memberi makan orang yang berpuasa, maka baginya pahala seperti orang yang berpuasa tersebut, tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa itu sedikit pun juga. (HR. Tirmidzi, ibnu Majah dan Ahmad).

💡 Target kebutuhan Dana :

Rp. 100.000.000. yang akan dijadikan ke dalam 5000 porsi dengan harga 20 Ribu Per porsinya

🕰️ Periode Donasi:
April – Akhir Ramadhan 1443/2022

📱 Informasi Donasi :
0813-2913-1470
Ust. Hadid Saiful Islam

💰 Donasi MDI Peduli :
BSI 8800 9900 34
A.n Divisi Sosial MDI

✒️ Team Sosial MDI
==================
Sebagian Dokumentasi Program Ifthor Jama’i Multaqa Duat Indonesia 2021:

1. Wamena, Papua
https://www.facebook.com/groups/384944829178650/permalink/514797556193376/
2. Paranggupito, Wonogiri, Jawa Tengah
https://www.facebook.com/groups/384944829178650/permalink/512779986395133/
3. Desa CEPOGO lereng Gunung Merapi – Merbabu Jateng
https://www.facebook.com/groups/384944829178650/permalink/513447419661723/
4. Pedalaman Kalimantan Barat

5. Ende, Flores, Nusa Tenggara Timur, 18 Ramadhan 1442 H
https://www.facebook.com/groups/384944829178650/permalink/512576299748835/
6. Bleduk Kuwu, Blora
https://www.facebook.com/groups/384944829178650/permalink/516448906028241/

Salaf ash-Shalih di Bulan Ramadhan

Salaf ash-Shalih di Bulan Ramadhan

 

Imam Syafi’i

Imam asy-Syafi’i adalah teladan dalam kesungguhan dan fikih. Beliau juga adalah panutan dalam keimanan, ketakwaan, wara’, dan ibadah. Ar-Rabi berkata, “Syafi’i membagi malam menjadi tiga bagian: sepertiga pertama untuk menulis, sepertiga kedua untuk shalat, dan sepertiga sisanya untuk tidur”.

Beliau rahimahullah tidak membaca Alquran kecuali dalam shalatnya. Al-Muzani mengatakan, “Aku tidak melihat asy-Syafi’i membaca Alquran pada malam hari kecuali saat beliau shalat”. Imam asy-Syafi’I juga disifati dengan hikmah dan dermawan, serta sifat-sifat dan akhlak-akhlak terpuji lainnya.

Yang menakjubkan dan rasa-rasanya sulit dijangkau dengan akal kita karena kekurangan yang ada pada kita, Imam asy-Syafi’i mengkhatamkan Alquran sebanyak 60 kali di bulan Ramadhan. Beliau membacanya saat shalat dan di luar shalat.

Dari sini kita dapat memahami alangkah berkahnya waktu Ramadhan Imam asy-Syafi’i. Beliau memanfaatkan waktu-waktu tersebut sehingga bisa mengkhatamkan Alquran dua kali dalam sehari.

Abduullah bin Umar

Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhu selalu berbuka bersama anak-anak yatim dan orang-orang miskin. Penghasilannya tidak ia nikmati sendiri, ia senantiasa membagikannya kepada orang miskin dan yang membutuhkan. Ayyub bin Wa-il ar-Rasibi pernah melihat Abdullah bin Umar mendapatkan uang sebanyak 4.000 dirham dan kain. Di hari berikutnya Ayyub melihatnya berada di pasar membeli sebuah hewan untuk dikendarai. Ayyub pun menemui keluarga Abdullah bin Umar dan bertanya tentang apa yang dilakukan oleh Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhu. Keluarganya mengabarkan bahwa Abdullah bin Umar tidak tidur sejak kemarin membagi-bagikan apa yang ada padanya hingga ia pulang dengan tangan kosong. Ketika kami bertanya kepada beliau, beliau mejawab, “Semuanya sudah aku dermakan kepada orang-orang fakir”.

Qatadah as-Sadusi

Qatadah bin Da’amah as-Sadusi, seorang tokoh tabi’in. Qatadah terbiasa mengkhatamkan Alquran setiap tujuh hari satu kali. Dan di bulan Ramadhan, beliau tingkatkan menjadi tiga hari sekali. Semangat beliau semakin bertambah ketika memasuki 10 hari terakhir Ramadhan, beliau mengkhatamkannya hanya dalam satu hari.

Az-Zuhri

Nama beliau adalah Muhammad bin Muslim az-Zuhri. Beliau adalah seorang tokoh tabi’in Kota Madinah dari kalangan Quraisy dan orang pertama yang menyusun hadits.

Diriwayatkan dari Abi az-Zanad bahwa ia pernah tawaf bersama az-Zuhri. Ia mengisahkan bahwa az-Zuhri tawaf dengan membawa catatan dan lembaran kertas untuk mencatat apa yang ia dengar (ilmu).

Umar bin Abdul Aziz pernah menulis surat edaran kepada para pejabatnya untuk memperhatikan keadaan az-Zuhri. Kata Umar bin Abdul Aziz, “Wajib bagi kalian memperhatikan Ibnu Syihab. Karena tidak ada seorang pun yang lebih mengetahui sunnah dari pada dia”.

Apabila datang bulan Ramadhan, az-Zuhri meninggalkan membaca hadits dan berdiskusi dengan para penuntut ilmu. Beliau focus membaca Alquran langsung dari mush-hafnya.

Sufyan ats-Tsauri

Beliau adalah Sufyan bin Said ats-Tauri. Karena banyaknya hafalan haditsnya, beliau dijuluki amirul mukminin fil hadits (pemimpin orang-orang yang beriman dalam bidang hadits). Apabila Ramadhan tiba, beliau meninggalkan ibadah-ibadah sunnah, lalu serius dan focus pada membaca Alquran.

Kisah Salafus Sholeh di Bulan Ramadhan.

By amna-OUD-cilembu

————————

Mau dapat Ilmunya ?
Mau dapat pahalanya ?
Silahkan ikuti link dibawah ini dan jangan lupa tag, mention, like, subscribe, follow serta comment

🌐 Web: https://multaqaduat.com
🎬 Youtube: https://youtube.com/c/MultaqaDuatIndonesia
🐝 Instagram: http://instagram.com/multaqa_duat_indonesia
📫 Telegram: https://t.me/multaqaduat
📮 Twitter: https://twitter.com/MultaqaI?s=08
💻 Facebook: https://www.facebook.com/multaqa2020/

Share yuk!!! Ikhwah!! Semoga kita dan saudara² mendapatkan faidah ilmu dari yang antum bagikan dan menjadi pembuka amal² kebaikan bagi antum yang telah menunjukkan kebaikan.

Semoga istiqomah dan mudah-mudahan program MDI ini menjadi pintu Hasanat, Barokah dan Jariyah untuk kita semua. Aamiin…

Jazakumullah khair ala TA’AWUN

Kesan-pesan di Penghujung Perpisahan dengan Ramadhan

Ramadhan bulan penuh berkah, penuh rahmat dan ampunan dari Allah. Segala ibadah baik yang kita lakukan semua dilipatgandakan pahalanya oleh-Nya.

Namun kini, kenikmatan itu sebentar lagi akan berakhir. Sebuah ketenangan dan kedamaian dalam mendekatkan diri pada-Nya kini mulai terasa sirna.

Ramadhan saat pandemi wabah covid-19, menjadi berbeda dari Ramadhan sebelumnya, anjuran pemerintah untuk melaksanakan ibadah di rumah menambah suasana pilu di Ramadhan musim pandemi ini.

Kini bulan istimewa itu akan segera pergi, akan pergi jauh dan mungkin tidak ada lagi waktu untuk bertemu kembali.

Sedih rasanya, akan berpisah dengan tamu yang mulia, sementara belum maksimal menjamunya, hanya doa yang terselip disela waktu tersisa, semoga Allah menerima semua amal ibadah di Ramadhan ini, termasuk hadiah terbesar yaitu “Malam Kemuliaan” atau Lailatul Qadar.

Ramadhan mulia di musim pandemi covid-19 begitu berkesan. Semoga berlalunya Ramadhan teriring pula doa agar segera berlalu pula penyebaran pandemi covid-19 di Indonesia dan negeri-negeri kaum muslimin terlebih biladil haramain sebagai pusat tujuan peribadatan kaum muslimin, sehingga kita dapat menjalani kembali kehidupan yang normal seperti sedia kala.

Kini Ramadhan akan pergi meninggalkan kita. Dan kita telah menyaksikan kejahatan orang yang jahat, dan kebaikan orang yang baik, dan masing-masing telah menerima bagiannya dari untung dan rugi.

Maka, alangkah menyesalnya orang yang semberono (melampaui batas), ia telah men-sia-siakan masa. Alangkah kecewanya orang yang menunda-nunda, seakan-akan ia merasa aman dari bahaya maut, atau mengetahui bahwa ia akan hidup hingga Ramadhan yang akan datang.

Para Salaf mengajarkan doa,

اللهم اجعل خير عمري أخره و خير عملي خواتيمه و خير أيامي يوم لقائك

“Ya Allah jadikanlah sebaik-baik umurku pada ujungnya dan sebaik-baik amalku pada akhir hayatku, dan (jadikanlah) sebaik-baik hariku yaitu hari ketika aku bertemu dengan-Mu (di hari kiamat)” (Dari Abu Bakar As-Siddiq, HR Ibnus Sunny, dan Ibnu Syaibah, 30124)

Al-Hafizh Ibnu Rajab رحمه الله berkata,

عباد الله إن شهر رمضان قد عزم على الرحيل ولم يبق منه إلا القليل فمن منكم أحسن فيه فعليه التمام ومن فرط فليختمه بالحسنى

“Wahai hamba-hamba Allah, sungguh bulan Ramadhan telah bertekad untuk pergi, dan tidak tersisa waktunya kecuali sedikit, Maka siapa yang telah berbuat baik di dalamnya hendaklah ia sempurnakan, dan siapa yang telah menyia-nyiakannya hendaklah ia menutupnya dengan yang lebih baik.”

كيف لا تجرى للمؤمن على فراقه دموع وهو لا يدري هل بقي له في عمره إليه رجوع

“Bagaimana mungkin air mata seorang mukmin tidak menetes tatkala berpisah dengan Ramadhan,
Sedang ia tidak tahu apakah masih ada sisa umurnya untuk berjumpa lagi.”
(Lathaiful Ma’arif, hal 216, terj. Ust. Sofyan Cholidruray)

Kita perbanyak istighfar di saat-saat akhir Ramadhan ini. Semoga Allah menerina shiyam kita, qiyam kita, qiro’ah kita dan semua ibadah kita. Teriring doa mohon dengan penuh kesungguhan dan kekhusyu’an kepada Allah agar diberi kesempatan berjumpa lagi dengan Ramadhan yang akan datang dengan lebih baik lagi…

Wallahu a’lam

Abu Yusuf Masruhin Sahal, Lc

Sabar, Penyempurna Puasa Ramadhan

Sabar, Penyempurna Puasa Ramadhan

 

Agar seorang muslim mampu menjaga puasanya dari kekurangan yang disebabkan oleh kemaksiatan, maka dia wajib merealisasikan kesabaran dari maksiat. Sebagian ulama berkata: “Sungguh kesabaran dari maksiat lebih besar dari kedua bentuk sabar lainnya; karena godaan keburukan banyak terjadi dalam kemaksiatan.”

Ibnul Qayyim –rahimahullah– berkata:
“Di sini ada masalah yang diperbincangkan banyak orang, dari kedua bentuk sabar yang manakah yang lebih utama? Sabarnya seorang hamba dari maksiat atau kesabarannya dalam ketaatan? Sebagian kelompok menguatkan bahwa yang lebih utama adalah yang pertama, dengan alasan bahwa sabar dari maksiat merupakan tugas para shiddiqin (orang-orang yang jujur) sebagaimana pernyataan generasi salaf: “Perbuatan baik itu dilakukan oleh orang baik dan orang jahat, dan tidak ada yang mampu meninggalkan maksiat kecuali orang yang jujur”, mereka berkata: “Hal itu karena tuntutan kemaksiatan itu lebih dahsyat dari pada tuntutan untuky meninggalkan ketaatan. Tuntutan kemaksiatan itu kepada perkara yang nampak kasat mata dan diminati oleh nafsu dan dinikmatinya, sementara tuntutan untuk meninggalkan ketaatan adalah kemalasan, pengangguran, kehinaan, dan tidak diragukan lagi bahwa tuntutan kemaksiatan lebih kuat. Mereka berkata: “Karena tuntutan kemaksiatan itu berkumpul di dalamnya, tuntutan hawa nafsu, syetan, sebab-sebab dunia, kolega seseorang, keinginan menyerupai dan kecenderungan tabiat. Semua tuntutan ini menarik keinginan seorang hamba untuk melakukan maksiat. Jika semuanya berkumpul dan nampak di dalam hati, maka kesabaran yang mana yang lebih kuat menjawabnya, dan kalau bukan karena Allah yang menjadikannya sabar maka kesabaran tidak akan datang kepadanya.
Pendapat ini sebagaimana yang anda ketahui alasannya sangat kuat.
(Thoriq Al Hijratain: 414)

Sabar dari kemaksiatan akan muncul dari beberapa sebab, maka silahkan anda renungi, di dalamnya terdapat sifat detail tentang penyakit dan resep pengobatannya.

Ibnul Qayyim –rahimahullah– berkata:
“Sabar dari kemaksiatan dapat tumbuh dari banyak sebab:
Seorang hamba mengetahui keburukannya, kehinaannya, dan Allah telah mengharamkannya dan telah melarangnya untuk menjaga dari kehinaan, sebagaimana seorang ayah yang penyayang menjaga anaknya dari hal yang akan membahayakannya. Sebab inilah yang menjadikan orang yang berakal untuk meninggalkannya meskipun tidak dikaitkan dengan ancaman adzab.

Rasa malu kepada Allah –subhanahu wa ta’ala-. Jika seorang hamba kapan saja mengetahui bahwa Allah sedang melihatnya, mengetahu kedudukan-Nya dalam dirinya, dan dia berada dalam jangkauan penglihatan dan pendengaran-Nya, maka dia akan merasa malu, malu kepada Tuhanya karena akan mengundang murka-Nya.
Memelihara nikmat dan kebaikan-Nya yang anda rasakan, karena dosa itu akan mencabut nikmat dan itu bisa dipastikan. Tidaklah seorang hamba berbuat dosa kecuali akan hilang darinya nikmat dari Allah sesuai dengan kadar dosa tersebut, dan jika dia bertaubat dan kembali, maka kenikmatan tersebut akan kembali atau yang serupa dengannya. Dan jika dia tetap berada pada dosanya maka nikmat itu tidak akan kembali, dan dosa-dosa itu akan terus menghilangkan nikmat sampai kenikmatan akan dicabut semua.

Allah –Ta’ala- berfirman:

إن الله لا يغير ما بقوم حتى يغيروا ما بأنفسهم

Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri”. (QS. Ar Ra’du : 11)

Nikmat terbesar adalah nikmat keimanan. Dosa zina, mencuri, minum-minuman keras, merampok, akan menghilangkan nikmat tersebut dan mencabutnya.
Sebagian generasi salaf mengatakan: “Saya telah melakukan dosa, maka aku dijauhkan dari qiyamullail selama satu tahun”

Sebagian lainnya mengatakan: “Saya telah melakukan dosa, maka aku dijauhkan dari memahami Al Qur’an”,

Terkait dengan hal ini dikatakan dalam sebait syair:

إِذَا كُنْتَ فِي نِعْمَةٍ فَارْعَهَا … فَإِنَّ الْمَعَاصِي تُزِيلُ النِّعَم

Jika kamu mesarakan kenikmatan maka peliharalah # karena kemaksiatan akan melenyapkannya”.

Intinya, kemaksiatan itu laksana api yang akan melumat kenikmatan, sebagaimana api melumat kayu bakar, kami berlindung kepada Allah dari hilangnya kenikmatan dari-Nya dan perubahan keselamatan dari-Nya.

Takut kepada Allah, takut akan murka-Nya, hal ini akan kuat menancap dengan membenarkan janji dan ancaman-Nya, beriman kepada-Nya, kepada kitab-Nya, kepada Rasul-Nya. Sebab ini akan menguat dengan ilmu dan keyakinan dan akan lemah dengan melemahnya keduanya.
Allah –Ta’ala- berfirman:

إِنَّمَا يَخْشَى اللهُ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاء

Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama”. (QS. Fathir: 28)

Sebagian generasi salaf berkata: “Cukuplah ilmu itu dengan takut kepada Allah dan merasa tertipu dengan Allah adalah kebodohan”.

Cinta kepada Allah, inilah yang menjadi sebab terkuat hadirnya sifat sabar untuk tidak menyimpang dari ajaran-Nya dan bermaksiat kepada-Nya. Karena seorang pencinta akan mentaati orang yang dicintainya. Dan setiap kali kerajaan cinta menguat di dalam hati, maka tuntutannya untuk taat dan meninggalkan maksiat kepada-Nya akan lebih kuat. Sungguh kemaksiatan dan penyimpangan itu terjadi karena lemahnya cinta dan kerajaannya. Sangat berbeda antara seseorang yang enggan untuk melanggar aturan tuannya karena takut kepada cambuk dan sanksinya dan seseorang yang tidak mau melanggar aturan karena cintanya kepada tuannya.

Karena kemuliaan jiwa, kebersihan, keutamaannya dan menjaga diri dari memilih sebab-sebab yang akan menurunkan derajatnya, merendahkan kedudukannya, menghinakannya, dan menyamakannya dengan orang-orang rendahan.

Karena kuatnya pengetahuan akan buruknya dampak kemaksiatan dan mara bahaya yang akan muncul setelahnya, seperti; hitamnya wajah, gelap dan sempitnya hati, kegalauannya, sedih, sakit, terbelenggu, kegundahan yang sangat, bercerai-berai, lemah di hadapan musuhnya, jauh dari hiasannya, kebingungan dalam urusannya, penolongnya akan berlepas tangan darinya, menjauh dari musuhnya yang nyata, ilmu yang sebelumnya sudah siap menjadi jauh, lupa dengan apa yang sudah diraih atau hafalannya menjadi lemah, dihinggapi penyakit dan bisa jadi akan menjadikannya mati; karena dosa-dosa itu akan mematikan hati.

Intinya, bahwa dampak maksiat yang buruk itu lebih banyak dari apa yang diperkirakan oleh seorang hamba, maka kebaikan dunia dan akhirat dengan memenuhinya dengan taat kepada Allah, sedangkan keburukan dunia dan akhirat dengan memenuhinya dengan maksiat kepada Allah.

Pada sebagian atsar Allah –subhanahu wa ta’ala- berfirman: “Barangsiapa yang taat kepada-Ku, maka dia akan sengsara dengan taat kepada-Ku, dan Barangsiapa yang durhaka kepada-Ku, maka dia akan bahagia dengan maksiat-Ku”.

Karena pendeknya angan-angan, dan pengetahuannya bahwa dia akan cepat pindah (dari dunia ke akhirat). Laksana seorang musafir yang telah memasuki sebuah desa namun bersegera ingin keluar darinya, atau seperti orang yang berkendara yang bernaung di bawah pohon lalu pergi dan meninggalkannya. Karena dia mengetahui kedudukannya yang rendah dan cepat sirna, dia bersungguh-sungguh untuk meninggalkan apa yang akan memberatkan, membahayakan dan tidak bermanfaat baginya. Dia juga bersungguh-sungguh untuk pindah dengan kebaikan yang ada di hadapannya. Tidak ada yang lebih bermanfaat bagi seorang hamba kecuali pendeknya angan-angan, dan tidak ada yang lebih membahayakan kecuali mengulur-ngulur dan panjang angan-angan.

Menghindari berlebihan dalam hal makan, minum, pakaian, tidur, berkumpul dengan banyak orang. Kuatnya dorongan kepada maksiat muncul karena banyak hal-hal yang berlebihan. Dia akan menuntut alokasi waktu sehingga yang mubah pun menjadi sempit dan beralih kepada yang haram. Sesuatu yang paling membahayakan bagi seorang hamba adalah menganggur, waktu lowong. Karena jiwa itu jangan dibiarkan diam, karena kalau tidak disibukkan dengan hal-hal yang bermanfaat maka ia akan sibuk dengan hal-hal yang membahayakan.

Yang mampu menggabungkan semua sebab-sebab tersebut adalah bersemayamnya pohon keimanan di dalam hati. Maka seorang hamba mampu bersabar dari kemaksiatan tergantung kekuatan imannya, setiap kali imannya lebih kuat, maka kesabarannya lebih sempurna. Jika keimanannya lemah maka lemah pula kesabarannya.
Barangsiapa yang keimanannya telah meliputi hatinya dengan penjagaan dan pengawasan Allah kepadanya, dia akan mengharamkan apa yang telah Allah haramkan kepadanya, membenci pelakunya karena Allah. Keimanannya juga telah merasakan adanya pahala, siksa, surga dan neraka. Maka ia akan menahan diri untuk tidak melakukan hal tersebut sesuai dengan ilmu yang telah diketahuinya.

Barangsiapa yang mengira bahwa dia kuat meninggalkan penyimpangan dan maksiat tanpa iman yang kuat dan kokoh, maka dia keliru. Jika cahaya iman menguat di dalam hati dan menerangi semua arah dan cahayanya pun telah menyebar ke seluruh penjuru, maka cahaya tersebut akan menyebar ke seluruh anggota tubuh. Maka mereka akan segera merespon dengan cepat kepada penyeru keimanan, dan merasa terikat untuk taat dan tunduk tidak merasa berat dan benci. Bahkan mereka merasa senang dengan ajakan untuk itu, sebagaimana seorang laki-laki merasa bahagia dengan ajakan kekasihnya yang telah berbuat baik kepadanya untuk meraih kemuliaannya. Maka setiap waktu dia akan menunggu-nunggu penyeru keimanan tersebut, bersiap untuk menepatinya, dan Allah telah mengkhususkan rahamat-Nya bagi siapa saja yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Pemilik keutamaan yang besar.
(Ringkasan dari Thariq Al Hijratain : 408 – 414)

Yang diminta dari seorang muslim adalah agar ia mengenali hakekat yang diinginkan oleh Allah dari ibadah puasa, dan mengetahui faktor pemicu kemaksiatan, sehingga ia akan menjauhinya, meninggalkannya, membencinya, dan apa yang telah kami nukil dari pernyataan Ibnul Qayyim menjelaskan masalah ini dan menjelaskan dengan sebaik-baik penjelasan.

Wallahu A’lam

Dinukil secara ringkas dari artikel islamqa.info

Ustadz Abu Yusuf Masruhin Sahal, Lc

Share, Like, Comment sebagai Ladang Pahala Kebaikan.

Bismillah..

🔰BERSAMA MERAIH SURGA🔰

Ahsanallahu ilaikum, ikhwah fillah dapatkan info TA’AWUN DAKWAH terbaru di sini👇👇👇

Multaqa Duat Indonesia – MDI

( Forum Kerja Sama Dakwah Para Da’i Salafy, Ahlu Sunnah wal Jama’ah Se-Indonesia )

 Web: https://multaqaduat.com
 Youtube: https://youtube.com/c/MultaqaDuatIndonesia
 Instagram: http://instagram.com/multaqa_duat_indonesia
 Telegram: https://t.me/multaqaduat
 Twitter: https://twitter.com/MultaqaI?s=08
 Facebook: www.facebook.com/multaqa2020/
 Facebook: www.facebook.com/groups/384944829178650/?ref=share
 Wagroup Ikhwwan MDI : https://chat.whatsapp.com/H3dwyDnVH4i2IQxiufE1qp
 WAgrup Akhwat MDI : https://chat.whatsapp.com/Gj1Wn7sDAGdJ04BBpxMeBS
 Email : TeamMediaMDI2020@gmail.com
 Admin MDI: wa.me/6282297975253⁣⁣

Semoga istiqomah dan mudah mudahan program MDI ini menjadi pintu Hasanat, Barokah dan Jariyah untuk kita semua. Amiiin

Jazakallah khair ala TA’AWUN
_⁣⁣⁣___
 Infaq Donasi Program Kaderisasi, Da’i Pedalaman, Kemanusiaan, Dakwah, Media:

 Bank Mandiri Syariah, No Rek 711-615-0578 (Kode Bank: 451), Atas Nama: Multaqo Du’at

Konfirmasi Transfer melalui Whatsapp/SMS dengat format:

Nama_Alamat_Nominal_Kaderisasi Da’i

Contoh:

Ahmad_Medan_Rp. 2.000.000_Kaderisasi Da’i

Kirim ke nomor:

 082297975253

Ust. Amrullah Akadhinta (Bendahara MDI)

Adab Hati Saat Makan Sahur

Adab Hati Saat Makan Sahur

 

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

Asy-Syaikh Al-‘Allamah Ibnul ‘Utsaimin rahimahullah berkata,

إنه ينبغي للإنسان حين تسحره أن يستحضر أنه يتسحر امتثالا لأمر الله ورسوله ويتسحر مخالفة لأهل الكتاب وكرها لما كانوا عليه ويتسحر رجاء البركة في هذا السحور ويتسحر استعانة به على طاعة الله حتى يكون هذا السحور الذي يأكله خيرا وبركة وطاعة والله الموفق

“Sungguh sepatutnya bagi seseorang, ketika makan sahur hendaklah menghadirkan dalam hatinya bahwa ia melakukannya dalam rangka taat kepada Allah dan Rasul-Nya, dan demi menyelisihi ahlul kitab (yahudi dan nasrani) serta membenci perbuatan mereka yang tidak mau makan sahur.

Dan hendaklah ia makan sahur dalam rangka mengharap keberkahan dari Allah dan menguatkannya untuk taat kepada Allah, sehingga dengan niat-niat tersebut, makan sahurnya bernilai kebaikan, keberkahan dan ketaatan kepada Allah. Wallaahul Muwaffiq.” [Syarhu Riyadhis Shaalihin, 5/285]

Simak Video Pendek: https://youtu.be/4p6XVgUNxZw

Dapatkan Buku-buku Penting untuk Memperbaiki Hati: https://toko.sofyanruray.info/category/buku/akidah-dan-tauhid/

Fast Order wa.me/628118247111

Ustadz Sofyan Chalid bin Idham Ruray, Lc hafizhahullah

Share, Like, Comment sebagai Ladang Pahala Kebaikan.

Bismillah..

🔰BERSAMA MERAIH SURGA🔰

Ahsanallahu ilaikum, ikhwah fillah dapatkan info TA’AWUN DAKWAH terbaru di sini👇👇👇

Multaqa Duat Indonesia – MDI

( Forum Kerja Sama Dakwah Para Da’i Salafy, Ahlu Sunnah wal Jama’ah Se-Indonesia )

 Web: https://multaqaduat.com
 Youtube: https://youtube.com/c/MultaqaDuatIndonesia
 Instagram: http://instagram.com/multaqa_duat_indonesia
 Telegram: https://t.me/multaqaduat
 Twitter: https://twitter.com/MultaqaI?s=08
 Facebook: www.facebook.com/multaqa2020/
 Facebook: www.facebook.com/groups/384944829178650/?ref=share
 Wagroup Ikhwwan MDI : https://chat.whatsapp.com/H3dwyDnVH4i2IQxiufE1qp
 WAgrup Akhwat MDI : https://chat.whatsapp.com/Gj1Wn7sDAGdJ04BBpxMeBS
 Email : TeamMediaMDI2020@gmail.com
 Admin MDI: wa.me/6282297975253⁣⁣

Semoga istiqomah dan mudah mudahan program MDI ini menjadi pintu Hasanat, Barokah dan Jariyah untuk kita semua. Amiiin

Jazakallah khair ala TA’AWUN
_⁣⁣⁣___
 Infaq Donasi Program Kaderisasi, Da’i Pedalaman, Kemanusiaan, Dakwah, Media:

 Bank Mandiri Syariah, No Rek 711-615-0578 (Kode Bank: 451), Atas Nama: Multaqo Du’at

Konfirmasi Transfer melalui Whatsapp/SMS dengat format:

Nama_Alamat_Nominal_Kaderisasi Da’i

Contoh:

Ahmad_Medan_Rp. 2.000.000_Kaderisasi Da’i

Kirim ke nomor:

 082297975253

Ust. Amrullah Akadhinta (Bendahara MDI)

Benarkah Muntah Dengan Sengaja Membatalkan Puasa?

Benarkah Muntah Dengan Sengaja Membatalkan Puasa?

 

Artikel Ramadhan (22)

سْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

Benarkah Ijma’ Ulama Muntah dengan Sengaja Membatalkan Puasa?

Al-Imam Ibnul Mundzir dan Al-Khattabi rahimahumallah telah menukil ijma’ bahwa muntah dengan sengaja membatalkan puasa.[1]

Akan tetapi penukilan ijma’ tersebut kurang tepat karena adanya sebagian ulama yang berpendapat bahwa muntah dengan sengaja tidak membatalkan puasa.

Bahkan dinukil pendapat tersebut dari para sahabat, diantaranya Abu Hurairah, Ibnu ‘Abbas dan Ibnu Mas’ud radhiyallahu’anhum serta satu riwayat dari Al-Imam Malik rahimahullah, dan Al-Imam Al-Bukhari rahimahullah cenderung kepadanya.[2]

Al-Imam Ibnu Baththol rahimahullah berkata,

وأجمع الفقهاء أن من ذرعه القىء فلا قضاء عليه، واختلفوا فى من استقاء

“Para fuqoho sepakat bahwa orang yang muntah tanpa sengaja maka tidak ada qodho’ atasnya, dan mereka berbeda pendapat tentang orang yang muntah dengan sengaja.” [Syarhul Bukhari, 4/80]

Maka yang benar insya Allah adalah ijma’ hanyalah dalam permasalahan tidak batalnya orang yang muntah tanpa sengaja.

Adapun dalam permasalahan batalnya puasa orang yang muntah dengan sengaja maka tidak terjadi ijma’, melainkan pendapat mayoritas ulama.[3]

Berdalil dengan hadits Abu Hurairah radhiyallahu’anhu,

مَنْ ذَرَعَهُ الْقَيْءُ فَلَا قَضَاءَ عَلَيْهِ، وَمَنِ اسْتَقَاءَ فَعَلَيْهِ الْقَضَاءُ

“Barangsiapa yang muntah tanpa sengaja maka tidak ada qodho’ atasnya, dan barangsiapa yang muntah dengan sengaja maka wajib atasnya qodho’.” [HR. Ahmad, Abu Daud, At-Tirmidzi, An-Nasaai dan Ibnu Majah, dan lafaz ini milik Ibnu Majah]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan Asy-Syaikh Al-Muhaddits Al-Albani rahimahumallah menguatkan hadits ini.[4]

Akan tetapi banyak imam-imam besar ahli hadits melemahkan hadits ini sebagaimana yang dinukil Al-Hafizh Ibnu Hajar (dalam Fathul Baari, 4/175) berikut ini:

Al-Imam Ahmad rahimahullah berkata,

لَيْسَ مِنْ ذَا شَيْءٌ

“Tidak ada satu hadits shahih tentang itu.”

Al-Imam Al-Bukhari rahimahullah berkata,

لَمْ يَصِحَّ

“Tidak shahih.”

Al-Imam At-Tirmidzi rahimahullah menukil dari Al-Bukhari, beliau berkata,

لَا أرَاهُ مَحْفُوظًا

“Aku tidak menganggapnya sebagai hadits yang mahfuzh.”

Al-Imam At-Tirmidzi rahimahullah berkata,

وَقَدْ رُوِيَ هَذَا الحَدِيثُ مِنْ غَيْرِ وَجْهٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلاَ يَصِحُّ إِسْنَادُهُ

“Dan telah diriwayatkan hadits ini melalui jalan lain dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, dari Nabi shallallahu’alaihi wa sallam, namun sanadnya tidak shahih.”

Dan kami cenderung kepada pendapat yang melemahkan hadits ini.

Dan pendapat bahwa muntah tidak membatalkan puasa, baik disengaja atau tidak, diperkuat dengan ucapan Sahabat yang Mulia Abu Hurairah sendiri,

إِذَا قَاءَ فَلاَ يُفْطِرُ إِنَّمَا يُخْرِجُ وَلاَ يُولِجُ

“Apabila seseorang muntah maka puasanya tidak batal, karena ia hanyalah mengeluarkan bukan memasukkan.” [Riwayat Al-Bukhari]

Sahabat yang Mulia Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma berkata,

الْفِطْرُ مِمَّا دَخَلَ وَلَيْسَ مِمَّا خَرَجَ وَالْوُضُوءُ مِمَّا خَرَجَ

“Berbuka adalah karena sesuatu yang masuk dalam tubuh, bukan karena sesuatu yang keluar, sedang berwudhu adalah karena sesuatu yang keluar.” [Riwayat Ibnu Abi Syaibah][5]

Kesimpulannya, tidak ada hadits shahih dan sharih (tegas) yang menunjukkan bahwa muntah membatalkan puasa, baik sengaja atau tidak, padahal muntah termasuk perkara yang banyak terjadi, maka pendapat yang benar insya Allah adalah muntah tidak membatalkan puasa, sengata atau tidak.

Dan sebagian ulama berpendapat bahwa, andai hadits tersebut shahih maka maknanya adalah terancam berbuka, karena orang yang muntah kondisi tubuhnya mungkin melemah hingga akhirnya berbuka.[6]

Catatan Kaki:

[1] Lihat Al-Ijma’, hal. 59 dan Ma’aalimus Sunan, 2/212, sebagaimana dalam Ash-Shiyaamu fil Islam, hal. 197.

[2] Lihat Fathul Baari, 4/174.

[3] Lihat Syarhul Bukhari, Ibnu Baththol, 4/80.

[4] Lihat Majmu’ Al-Fatawa, 25/222 dan Irwaaul Ghalil, 4/52.

[5] Lihat Fathul Baari, 4/175.

[6] Lihat Fathul Baari, 4/175.

═══ ❁✿❁ ═══

Pembina: Ustadz Sofyan Chalid bin Idham Ruray, Lc hafizhahullah

GABUNG TELEGRAM
t.me/taawundakwah
t.me/sofyanruray
t.me/kajian_assunnah
t.me/videokitabtauhid
t.me/kaidahtauhid
t.me/akhlak_muslim

WA GROUP KAJIAN ISLAM
Ketik: Daftar
Kirim ke Salah Satu Admin:
wa.me/628111833375
wa.me/628111377787
wa.me/628119193411

Website dan Medsos:
– sofyanruray.info
– taawundakwah.com
– twitter.com/sofyanruray
– facebook.com/taawundakwah
– instagram.com/taawundakwah
– youtube.com/c/kajiansofyanruray

#Yuk_share. Rasulullah ﷺ bersabda, “Barangsiapa menunjukkan satu kebaikan maka ia akan mendapatkan pahala seperti orang yang mengamalkannya.” [HR. Muslim]

Share, Like, Comment sebagai Ladang Pahala Kebaikan.

Bismillah..

🔰BERSAMA MERAIH SURGA🔰

Ahsanallahu ilaikum, ikhwah fillah dapatkan info TA’AWUN DAKWAH terbaru di sini👇👇👇

Multaqa Duat Indonesia – MDI

( Forum Kerja Sama Dakwah Para Da’i Salafy, Ahlu Sunnah wal Jama’ah Se-Indonesia )

 Web: https://multaqaduat.com
 Youtube: https://youtube.com/c/MultaqaDuatIndonesia
 Instagram: http://instagram.com/multaqa_duat_indonesia
 Telegram: https://t.me/multaqaduat
 Twitter: https://twitter.com/MultaqaI?s=08
 Facebook: www.facebook.com/multaqa2020/
 Facebook: www.facebook.com/groups/384944829178650/?ref=share
 Wagroup Ikhwwan MDI : https://chat.whatsapp.com/H3dwyDnVH4i2IQxiufE1qp
 WAgrup Akhwat MDI : https://chat.whatsapp.com/Gj1Wn7sDAGdJ04BBpxMeBS
 Email : TeamMediaMDI2020@gmail.com
 Admin MDI: wa.me/6282297975253⁣⁣

Semoga istiqomah dan mudah mudahan program MDI ini menjadi pintu Hasanat, Barokah dan Jariyah untuk kita semua. Amiiin

Jazakallah khair ala TA’AWUN
_⁣⁣⁣___
 Infaq Donasi Program Kaderisasi, Da’i Pedalaman, Kemanusiaan, Dakwah, Media:

 Bank Mandiri Syariah, No Rek 711-615-0578 (Kode Bank: 451), Atas Nama: Multaqo Du’at

Konfirmasi Transfer melalui Whatsapp/SMS dengat format:

Nama_Alamat_Nominal_Kaderisasi Da’i

Contoh:

Ahmad_Medan_Rp. 2.000.000_Kaderisasi Da’i

Kirim ke nomor:

 082297975253

Ust. Amrullah Akadhinta (Bendahara MDI)

Apakah Berbekam, Totok Darah dan Donor Darah Membatalkan Puasa?

Apakah Berbekam, Totok Darah dan Donor Darah Membatalkan Puasa?

 

Artikel Ramadhan (21)

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

Pendapat Pertama dan Dalilnya

Sebagian ulama berpendapat bekam membatalkan puasa. Ini pendapat Al-Imam Ahmad,[1] Ishaq, Ibnul Mundzir, Muhammad bin Ishaq, Ibnu Khuzaimah, ‘Atho’, Abdur Rahman bin Mahdi, Al-Hasan, Masruq, dan Ibnu Sirin. Dan beberapa sahabat tidak suka bekam siang hari, diantaranya Ibnu Umar, Ibnu Abbas, Abu Musa dan Anas bin Malik.[2]

Pendapat ini yang dikuatkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Ibnul Qoyyim, Ibnu Baz, Ibnu ‘Utsaimin dan Al-Lajnah Ad-Daaimah.[3]

Dan sebagian ulama yang berpegang dengan pendapat kedua ini juga berpendapat bahwa fashdhun (totok darah, yaitu pengobatan dengan cara mengeluarkan darah) dan yang semisalnya adalah sama dengan bekam, yaitu membatalkan puasa.[4]

Demikian pula Al-Lajnah Ad-Daaimah berpendapat bahwa donor darah dalam jumlah besar membatalkan puasa.[5]

Berdalil dengan hadits Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam,

أَفْطَرَ الْحَاجِمُ وَالْمَحْجُومُ

“Telah berbuka orang yang membekam dan yang dibekam.” [HR. Abu Daud dan At-Tirmidzi dari sejumlah sahabat radhiyallahu’anhum, Shahih Abi Daud: 2049, 2051]

Pendapat Kedua dan Dalilnya

Mayoritas ulama berpendapat bahwa berbekam dan yang semisalnya tidak membatalkan puasa. Ini adalah pendapat Al-Imam Asy-Syafi’i, Abu Hanifah, Malik dan Ats-Tsauri.

Beberapa sahabat dan tabi’in membolehkan berbekam bagi orang yang berpuasa, diantaranya Abu Sa’id Al-Khudri, Ibnu Mas’ud, Ummu Salamah, Al-Husain bin Ali, Urwah bin Az-Zubair dan Sa’id bin Jubair.[6]

Pendapat ini yang dikuatkan Ibnu Hazm, Al-Hafizh Ibnu Hajar, dan Al-Bukhari cenderung kepadanya.[7]

Berdalil dengan hadits Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam,

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ احْتَجَمَ وَهُوَ مُحْرِمٌ، وَاحْتَجَمَ وَهُوَ صَائِمٌ

“Bahwa Nabi shallallahu’alaihi wa sallam berbekam dan beliau sedang berihram, beliau juga berbekam dan beliau sedang berpuasa.” [HR. Al-Bukhari dari Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma]

Cara Mengkompromikan Dalil Pendapat Pertama dan Kedua

Para ulama menempuh tiga cara untuk memadukan antara dua hadits di atas:

Cara Pertama: Mengunggulkan Salah Satu Hadits dan Melemahkan Salah Satunya dengan Kaidah-kaidah Ilmu Hadits

Sebagaimana dinukil dari Al-Imam Ahmad rahimahullah bahwa beliau melemahkan hadits dengan tambahan “Beliau sedang berpuasa”, yang shahih hanyalah bagian yang pertama, yaitu “Beliau sedang berihram”.

Namun ternyata yang dilemahkan Al-Imam Ahmad rahimahullah adalah hadits dengan sanad dan lafaz yang berbeda dengan milik Al-Bukhari. Sanadnya adalah:

حبيب بن الشهيد عن ميمون بن مهران عن ابن عباس

“Habib bin Asy-Syahid, dari Maimun bin Mihran dari Ibnu ‘Abbas.”

Adapun lafaznya:

أن النبى صلى الله عليه وسلم احتجم وهو صائم محرم

“Bahwa Nabi shallallahu’alaihi wa sallam berbekam dan beliau sedang berpuasa juga berihram.”

Adapun sanad Al-Bukhari, beliau berkata:

حَدَّثَنَا مُعَلَّى بْنُ أَسَدٍ، حَدَّثَنَا وُهَيْبٌ، عَنْ أَيُّوبَ، عَنْ عِكْرِمَةَ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا

“Telah menyampaikan kepada kami Mu’alla bin Asad, telah menyampaikan kepada kami Wuhaib, dari Ayyub, dari ‘Ikrimah, dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma.”

Dan lafaznya juga berbeda:

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ احْتَجَمَ وَهُوَ مُحْرِمٌ، وَاحْتَجَمَ وَهُوَ صَائِمٌ

“Bahwa Nabi shallallahu’alaihi wa sallam berbekam dan beliau sedang berihram, beliau juga berbekam dan beliau sedang berpuasa.” [HR. Al-Bukhari]

Dan maksud hadits ini adalah dilakukan oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam pada dua keadaan yang berbeda, pertama ketika ihram, kedua ketika berpuasa.

Demikian pula hadits ini tidak menunjukkan bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam sedang melakukan safar sehingga beliau berbekam saat berpuasa.

Demikian ringkasan penjelasan Asy-Syaikh Al-Muhaddits Al-Albani rahimahullah (dalam Irwaaul Ghalil, 4/77-79).

Kemudian Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah memberi kesimpulan,

وجملة القول: أن حديث ابن عباس من الطريق الأولى صحيح لا مغمز فيه , فقول ابن القيم فى ” زاد المعاد “: ” ولا يصح عنه صلى الله عليه وسلم أنه احتجم وهو صائم , وقد رواه البخارى “! مما لا يلتفت إليه , لأن ما نقله عن أحمد من إعلاله للحديث من طرق تقدم أكثرها ليس فيها طريق البخارى , فهى سالمة من الطعن , وقد أشار إلى رد قول ابن القيم هذا الحافظ فى ” الفتح ” بقوله (4/155): ” والحديث صحيح لا مرية فيه“.

“Kesimpulannya adalah, hadits Ibnu ‘Abbas dari jalan yang pertama (yang diriwayatkan Al-Bukhari) adalah shahih tidak ada keraguan padanya, maka ucapan Ibnul Qoyyim dalam Zaadul Ma’ad: ‘Tidak shahih dari Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bahwa beliau berbekam dan beliau sedang berpuasa, dan telah diriwayatkan Al-Bukhari’, maka ucapan beliau ini termasuk pendapat yang tidak perlu dianggap, karena pelemahan hadits ini yang beliau nukil dari Imam Ahmad adalah dari jalan-jalan yang telah disebutkan, maka kebanyakannya tidak ada jalan periwayatan Al-Bukhari, sehingga jalan Al-Bukhari selamat dari kritikan, dan Al-Hafizh (Ibnu Hajar) telah memberikan isyarat bantahan terhadap Ibnul Qoyyim (dalam Al-Fath, 4/155), dengan ucapannya: Hadits ini shahih tidak ada keraguan padanya.” [Irwaaul Ghalil, 4/79]

Kesimpulannya, kedua hadits sama-sama shahih, maka cara pertama ini tidak bisa ditempuh.

Cara Kedua: Metode Nasakh (Menghapus Hukum) Salah Satu Hadits dengan Dalil-dalil yang Menunjukkannya

Para ulama yang berpendapat bekam membatalkan puasa mengatakan bahwa hadits-hadits tentang berbekamnya Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam ketika puasa andaikan shahih maka telah di-nasakh oleh hadits: “Telah berbuka orang yang membekam dan yang dibekam.”[8]

Sebaliknya, ulama yang berpendapat bekam tidak membatalkan puasa mengatakan bahwa justru hadits tersebut yang telah di-nasakh oleh hadits-hadits tentang berbekamnya Rasululullah shallallahu’alaihi wa sallam dalam keadaan berpuasa, seperti hadits: “Bahwa Nabi shallallahu’alaihi wa sallam berbekam dan beliau sedang berihram, beliau juga berbekam dan beliau sedang berpuasa.”[9]

Akan tetapi syarat dalil yang me-nasakh harus datang lebih akhir dibanding yang di-mansukh (yang dihapus hukumnya), dan dalam masalah ini tidak diketahui pasti mana yang lebih dulu dan mana yang akhir.

Hanya saja ada indikasi kuat bahwa hadits tentang berbekamnya Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam ketika berpuasa lebih akhir, sebab itu adalah rukhsoh (keringanan), dan rukhsokh biasanya datang setelah ‘azimah (penetapannya sebagai hukum yang wajib).

Dan dikuatkan oleh hadits Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu’anhu yang menyatakan bahwa bekam adalah rukhsoh, sebagaimana yang dinukil Al-Hafizh Ibnu Hajar dari Ibnu Hazm rahimahumallah, beliau berkata,

صَحَّ حَدِيثُ أَفْطَرَ الْحَاجِمُ وَالْمَحْجُومُ بِلَا رَيْبٍ لَكِنْ وَجَدْنَا مِنْ حَدِيثِ أَبِي سَعِيدٍ أَرْخَصَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْحِجَامَةِ لِلصَّائِمِ وَإِسْنَادُهُ صَحِيحٌ فَوَجَبَ الْأَخْذُ بِهِ لِأَنَّ الرُّخْصَةَ إِنَّمَا تَكُونُ بَعْدَ الْعَزِيمَةِ فَدَلَّ عَلَى نَسْخِ الْفِطْرِ بِالْحِجَامَةِ سَوَاءٌ كَانَ حَاجِمًا أَوْ مَحْجُومًا

“Telah shahih hadits: ‘Telah berbuka orang yang membekam dan yang dibekam’, tanpa diragukan lagi, akan tetapi kami dapatkan dari hadits Abu Sa’id Al-Khudri,

أَرْخَصَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْحِجَامَةِ لِلصَّائِمِ

‘Nabi shallallahu’alaihi wa sallam memberi rukhsoh (keringanan) untuk berbekam bagi orang yang berpuasa.’[10]

Sanad hadits ini shahih maka wajib mengambilnya sebagai dalil, karena rukhsoh (keringanan) hanyalah datang setelah ‘azimah (penetapannya sebagai hukum yang wajib), maka hadits ini menunjukkan penghapusan hukum batalnya puasa dengan sebab bekam, sama saja apakah yang membekam atau yang dibekam.” [Fathul Baari, 4/178]

Cara Ketiga: Mengkompromikan Makna Kedua Hadits

Andai cara yang kedua tidak bisa ditempuh masih tersisa cara yang ketiga, yaitu dengan mengkompromikan makna-makna hadits di atas.

Maka sebagian ulama menjelaskan makna hadits: ‘Telah berbuka orang yang membekam dan yang dibekam’, maksudnya adalah terancam berbuka, karena;

– Orang yang membekam di masa dahulu dengan cara menghisap melalui alat bekam sehingga bisa tertelan.

– Orang yang dibekam akan melemah tubuhnya sehingga pada akhirnya berbuka puasa.

Inilah pendapat yang lebih tepat insya Allah bahwa berbekam tidak membatalkan puasa, namun terancam batal.

Penafsiran ini didukung oleh riwayat Abdur Rahman bin Abi Laila rahimahullah, dari salah seorang sahabat Nabi shallallahu’alaihi wa sallam,

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنِ الحِجَامَةِ وَالْمُوَاصَلَةِ وَلَمْ يُحَرِّمْهُمَا إِبْقَاءً عَلَى أَصْحَابِهِ

“Bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam melarang berbekam dan berpuasa wishol (menyambung puasa tanpa berbuka), namun beliau tidak mengharamkan kedua perkara tersebut, beliau melarang demi menjaga para sahabat beliau.” [HR. Abu Daud, Shahih Abi Daud: 2055]

Hadits yang mulia ini juga menunjukkan bahwa berbekam ketika sedang berpuasa hukumnya makruh, kecuali tentunya bagi orang yang sakit maka boleh baginya berbuka dan berbekam, dan hukum makruh ini diperkuat oleh hadits Anas bin Malik radhiyallahu’anhu.[11] Dari Tsabit Al-Bunani rahimahullah, beliau berkata,

سُئِلَ أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: أَكُنْتُمْ تَكْرَهُونَ الحِجَامَةَ لِلصَّائِمِ؟ قَالَ: لاَ، إِلَّا مِنْ أَجْلِ الضَّعْفِ

“Anas bin Malik radhiyallahu’anhu ditanya: Apakah kalian membenci berbekam (di masa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam) untuk orang yang berpuasa? Beliau berkata: Tidak, kecuali apabila melemahkan (sehingga membatalkan puasa).” [HR. Al-Bukhari]

Hadits yang mulia ini menunjukkan bahwa berbekam tidak membatalkan puasa, namun dimakruhkan apabila dapat melemahkan tubuh seseorang yang pada akhirnya orang yang berbekam itu berbuka puasa. Dan tidak makruh bagi orang sakit yang butuh diobati dengan bekam.

Inilah pendapat yang kuat insya Allah, yaitu pendapat mayorutas ulama, bahwa berbekam tidak membatalkan puasa, termasuk fashdhun dan donor darah tidaklah membatalkan puasa.

Diperkuat lagi dengan ucapan Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma ketika beliau ditanya tentang berbekam bagi orang yang berpuasa, beliau berkata,

الْفِطْرُ مِمَّا دَخَلَ وَلَيْسَ مِمَّا خَرَجَ وَالْوُضُوءُ مِمَّا خَرَجَ

“Berbuka adalah karena sesuatu yang masuk dalam tubuh, bukan karena sesuatu yang keluar, sedang berwudhu adalah karena sesuatu yang keluar.” [Riwayat Ibnu Abi Syaibah][12]

Catatan Kaki:

[1] Lihat Taudhihul Ahkam, 3/492.

[2] Lihat Ash-Shiyaamu fil Islam, hal. 192.

[3] Lihat Majmu’ Fatawa Ibni Taimiyah, 25/250-252, Zaadul Ma’ad, 2/60, Majmu Fatawa Ibni Baz, 15/271, Majmu’ Fatawa wa Rosaail Ibnil ‘Utsaimin, 19/239-251, Asy-Syarhul Mumti’, 6/391-396, Fatawa Al-Lajnah Ad-Daaimah, 10-261-265, sebagaimana dalam Ash-Shiyaamu fil Islam, hal. 196.

[4] Lihat Majmu’ Fatawa Ibni Taimiyah, 25/256, sebagaimana dalam Ash-Shiyaamu fil Islam, hal. 196.

[5] Lihat Fatawa Al-Lajnah Ad-Daaimah, 9/202.

[6] Lihat Taudhihul Ahkam, 3/491-492 dan Ash-Shiyaamu fil Islam, hal. 192.

[7] Lihat Fathul Baari, 4/177.

[8] Lihat Ash-Shiyaamu fil Islam, hal. 192.

[9] Lihat Fathul Baari, 4/178.

[10] Diriwayatkan An-Nasaai dalam As-Sunan Al-Kubro, sanadnya dishahihkan Ibnu Hazm dan para rawinya dinyatakan tsiqoh oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar, hanya saja ulama berbeda pendapat apakah hadits ini mauquf atau marfu’, dan sanadnya juga dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani (lihat Tamaamul Minnah, 4/74).

[11] Lihat Subulus Salaam, 1/570.

[12] Lihat Fathul Baari, 4/175.

═══ ❁✿❁ ═══

Pembina: Ustadz Sofyan Chalid bin Idham Ruray, Lc hafizhahullah

GABUNG TELEGRAM
t.me/taawundakwah
t.me/sofyanruray
t.me/kajian_assunnah
t.me/videokitabtauhid
t.me/kaidahtauhid
t.me/akhlak_muslim

WA GROUP KAJIAN ISLAM
Ketik: Daftar
Kirim ke Salah Satu Admin:
wa.me/628111833375
wa.me/628111377787
wa.me/628119193411

Website dan Medsos:
– sofyanruray.info
– taawundakwah.com
– twitter.com/sofyanruray
– facebook.com/taawundakwah
– instagram.com/taawundakwah
– youtube.com/c/kajiansofyanruray

#Yuk_share. Rasulullah ﷺ bersabda, “Barangsiapa menunjukkan satu kebaikan maka ia akan mendapatkan pahala seperti orang yang mengamalkannya.” [HR. Muslim]