🔥 Antara pemimpin dan rakyat dalam perspektif Islam
✍️ Hari-hari ini, kita sedang diuji oleh Allah dengan tatanan kehidupan secara bernegara. Yaitu kemunculan UU Omnibus Law Cipta kerja yang kontroversial. Sehingga muncul darinya antara kedzaliman penguasa dan kebrutalan rakyat yang berdemo karena merasa dikebiri dan disingkirkan hak-haknya.
Diantara hal yang harus dipahami dengan nalar yang sehat dan hati yang sabar adalah keberadaan suatu komponen bangsa yang tidak bisa tidak, mesti ada adalah adanya pemimpin dan ada pula rakyat. Inilah unsur pokok yang membangun suatu bangsa.
Sebuah negara, akan mengalami kekacauan dan kerusakan jika tidak ada pemimpin walaupun satu hari saja. Sebagaimana dikatakan para Ulama dahulu, berkata Imam Abul ‘Izxi Al-Hanafy رحمه الله
“ستون سَنَة بإمام ظالم خيرٌ مِن ليلة بلا إمام”
“Enam puluh tahun bersama pemimpin yang jahat itu masih lebih baik daripada semalam saja hidup tanpa seorang pemimpin.” (Syarh Al-Aqidah Ath-Thohawiyyah)
Namun ada kewajiban yang harus dilakukan oleh para pemimpin, sebagaimana yang Allah perintahkan.
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَىٰ أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ ۚ إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا.
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”(An-Nisa: 58)
Dengan demikian pemimpin dan rakyat harus memiliki sinergi.
Dalam hal ini Allah telah mengatur hak dan kewajiban masing-masing. Adapun rakyatnya, maka Allah wajibkan ketaatan kepada para pemimpinnya dengan firman-Nya:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ ۖ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
“Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul(-Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Alquran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu adalah lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (An-Nisa:59).
Berkata Syaikh Prof. Dr. Wahbah az-Zuhaili,
Sesungguhnya Allah memerintah kamu menunaikan amanat-amanat kepada yang berhak; dan apabila kamu menghukum antara manusia, supaya kamu menghukum dengan adil. Sesungguhnya Allah menasehati kamu dengan sebaik-baik perkara, karena sesungguhnya Allah itu adalah Maha mendengar, Maha melihat.
Hai orang-orang yang beriman! Taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul dan kepada orang-orang yang berkuasa dari antara kamu. Maka sekiranya kamu berbantahan di satu perkara, hendaklah kamu kembalikan dia kepada Allah dan Rasul, jika adalah kamu beriman ke- pada Allah dan hari Kemudian. Yang demikian itu sebaik-baik dan sebagus-bagus ta’wil. (Tafsir Al-Wajiz, Syaikh Prof. Dr. Wahbah az-Zuhaili)
Setelah Allah memerintahkan para pemimpin dan orang yang memiliki jabatan untuk bersikap adil terhadap rakyatnya, kemudian Allah memerintahkan para rakyat untuk taat kepada para pemimpin mereka; Dia berfirman: taatilah Allah jalan hukum-hukumnya, dan taatilah Rasulullah dalam setiap perintahnya, serta taatilah setiap orang yang mengatur urusan kaum muslimin. jika kalian berselisih dengan pemimpin karya dalam suatu perkara agama maka kembalilah kepada Al-quran dan as-sunnah,sebab ini merupakan asas dari keimanan serta mengandung kesudahan yang yang lebih baik bagi kalian di dunia dan di akhirat. (Mukhtasor fit tafsir)
Menurut para ulama, ayat pertama berkaitan dengan kewajiban pemimpin, yaitu harus menunaikan amanat kepada yang berhak menerimanya dan apabila mengadili orang-orang yang dipimpin, harus mengadili dengan adil. Sedangkan ayat kedua turun berkenaan dengan kewajiban orang-orang yang dipimpin, yaitu mereka harus menaati perintah serta ketetapan pemimpin, selama perintah atau ketetapan itu bukan kemaksiatan. Apabila perintah atau ketetapan pemimpin adalah kemaksiatan, maka kemaksiatan itu tidak boleh di taati. Jika mereka memperselisihkan sesuatu, maka harus dikembalikan kepada Kitabullah dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Namun jika pemimpin tidak melaksanakan tugasnya dengan amanah dan tidak adil, maka umat tetap mentaati perintah pemimpin yang tidak berbentuk kemaksiatan. Sebab mentaati pemimpin termasuk ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Umat harus tetap menunaikan kewajiban mereka kepada pemimpin sebagaimana diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya.
Rasulullah صلى الله عليه وسلم telah memberikan rambu-rambu dalam hal ketaatan kepada pemimpin, beliau bersabda,
يَكُونُ بَعْدِى أَئِمَّةٌ لاَ يَهْتَدُونَ بِهُدَاىَ وَلاَ يَسْتَنُّونَ بِسُنَّتِى وَسَيَقُومُ فِيهِمْ رِجَالٌ قُلُوبُهُمْ قُلُوبُ الشَّيَاطِينِ فِى جُثْمَانِ إِنْسٍ.
قَالَ قُلْتُ كَيْفَ أَصْنَعُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنْ أَدْرَكْتُ ذَلِكَ قَالَ « تَسْمَعُ وَتُطِيعُ لِلأَمِيرِ وَإِنْ ضُرِبَ ظَهْرُكَ وَأُخِذَ مَالُكَ فَاسْمَعْ وَأَطِعْ ».
“Nanti setelah aku akan ada seorang pemimpin yang tidak mendapat petunjukku (dalam ilmu, pen) dan tidak pula melaksanakan sunnahku (dalam amal, pen). Nanti akan ada di tengah-tengah mereka orang-orang yang hatinya adalah hati setan, namun jasadnya adalah jasad manusia. “
Aku berkata, “Wahai Rasulullah, apa yang harus aku lakukan jika aku menemui zaman seperti itu?” Beliau bersabda, ”Dengarlah dan ta’at kepada pemimpinmu, walaupun mereka menyiksa punggungmu dan mengambil hartamu. Tetaplah mendengar dan ta’at kepada mereka.” (HR. Muslim no. 1847)
Ketaatan pada pemimpinnya sebatas kebaikan saja, adapun yang maksiyat maka tidak ada ketaatan kepadanya. Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda,
لاَ طَاعَةَ فِى مَعْصِيَةٍ ، إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِى الْمَعْرُوفِ
“Tidak ada kewajiban ta’at dalam rangka bermaksiat (kepada Allah). Ketaatan hanyalah dalam perkara yang ma’ruf (bukan maksiat).” (HR. Bukhari, 7257)
Sekalipun tidak taat dalam kemaksiatan pemimpin, namun tetap wajib menghormati mereka dan haram menghinanya.
Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:
مَنْ أَهَانَ سُلْطَانَ اللهِ فِي الأَرْضِ؛ أَهَانَهُ اللهُ
“Barangsiapa yang menghinakan Sulthan (yang dijadikan pemimpin oleh) Allah di muka bumi; maka Allah akan menghinakannya.”
(HR Ibnu Abi ‘Ashim dalam “As-Sunnah” (II/488)]
Anas bin Malik رضي الله عنه berkata:
Para pembesar kami dari kalangan Shahabat Rasulullah melarang kami dengan berkata:
لاَ تَسُبُّوْا أُمَرَاءَكُمْ، وَلاَ تَغُشُّوْهُمْ، وَلاَ تُبْغِضُوْهُمْ، وَاتَّقُوْا اللهَ، وَاصْبِرُوْا؛ فَإِنَّ الأَمْرَ قَرِيْبٌ
“Janganlah kalian mencela para pemimpin kalian! Janganlah menipu mereka! Dan janganlah membenci mereka! Bertakwalah kepada Allah dan bersabarlah; karena perkaranya dekat.”
Hudaifah bin Yaman رضي الله عنه berkata, “Tidaklah sekelompok kaum mendatangi khalifah Allah di muka bumi dengan tujuan untuk menghinanya maka Allah pasti akan menghinakan mereka sebelum ajal menjemput mereka.” (Syarhus Sunnah: 10/54)
Dan tetap mendoakan kebaikan kepada para penguasa sebagaimana teladan Imam Fudhail bin Iyadh رحمه الله, “Seandainya aku memiliki suatu doa mustajab (yang pasti dikabulkan) niscaya akan aku peruntukkan untuk penguasa, karena baiknya seorang penguasa akan membawa kebaikan pula bagi negeri dan rakyat.” (Bidayah Wan Nihayah, 10/199)
Wallahu a’lam
🍃Abu Yusuf Masruhin Sahal, Lc ✏️📚✒️.💧..