Beranda » Arsip Tag:MDI

Arsip Tag:MDI

Tobat Plus Sabar dan Syukur Adalah Bahagia

Bismillaah..

(كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ ۗ وَنَبْلُوكُمْ بِالشَّرِّ وَالْخَيْرِ فِتْنَةً ۖ وَإِلَيْنَا تُرْجَعُونَ).

Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kalian dengan keburukan dan kebaikan, sebagai cobaan yang sebenar-benarnya. Dan hanya kepada Kami-lah kalian dikembalikan.
(QS. Al-Ambiya’,ayat 35)

Saudara seaqidah yang berbahagia…
Itulah informasi yang bersumber dari Alloh Yang Mengetahui yang ghaib dan yang nyata, Robb segala sesuatu dan yang merajainya, tentang kematian, keburukan dan kebaikan yang tak terluput seorangpun daripadanya, pasti setiap orang akan mengalami dan merasakannya.
Kita semua dituntut untuk dapat menyikapi setiap ‘fenomena’ tersebut dengan tepat dan benar supaya membuahkan kehidupan yang berkwalitas, bahagia dan selamat di dunia sampai akhiratnya kelak.

Ingat rumus:
‘Tobat plus Sabar plus Syukur’ sama dengan Bahagia’. Renungkanlah..!

Dan Ketahuilah, bahwa hidup ini melangkah terus semakin mendekat ke titik terakhir, yaitu KEMATIAN.
Saudaraku,, kematianlah yang memutuskan segala ambisi, kegilaan terhadap dunia dan memutuskan segala yang ada hubungannya dengan duniawi.
Keduniaan yang kalian impikan, kemewahan yang kalian dambakan, karier yang kalian kejar dan kesuksesan yang kalian ukir… suatu ketika dibatasi oleh yang namanya ‘kematian’ yang kedatangannya tanpa ada pemberitahuan sebelumnya dan tidak mungkin bisa dihindari serta tidak mengenal umur..
Maka, cukuplah kematian sebagai PENASEHAT UTAMA bagi kita..

Kita segenap Kaum Muslimin dianjurkan untuk memperbanyak mengingat pemutus kelezatan yaitu KEMATIAN.
Mengingat kematian banyak sekali faedahnya. Diantaranya :

  1. Menyegerakan kita untuk bertobat kepada Alloh Subhanahu wa Ta’ala.
  2. Menambah kita ber semangat melakukan Ibadah kepada Alloh Subhanahu wa Ta’ala.
  3. Menumbuhkan sikap qona’ah dan sikap bersyukur kepada Alloh Subhanahu wa Ta’ala.

Dan melakukan semua hal tersebut harus berdasarkan ILMU,  sehingga Mampu menumbuhkan Pribadi Mukmin yang benar-benar SIAP untuk menghadapi dengan baik berbagai ujian yang datang dari Allah Subhanahu wa Ta’ala atas ijin-Nya dan sesuai petunjuk dari-Nya, sehingga lebih siap untuk menyongsong KEMATIAN, PINDAH KEHIDUPAN MENUJU AKHERAT, Kehidupan Kekal Abadi, Kehidupan yang lebih nyata dari pada kehidupan dunia yang serba semu dirasa..

Laa haula walaa quwwata illaa billaah..

Ya Alloh… Berilah kami keyakinan yang dapat meringankan segala musibah dunia.
Dan kami berlindung kepada-Mu dari ilmu yang tidak bermanfaat, hati yang tidak kusyu’, jiwa yang tidak pernah puas dan do’a yang tidak dikabulkan.
Robbana aatinaa fiddunya hasanah wafil aakhirati hasanah waqinaa ‘azaabannaar.
Aamiin.. Aamiin.. Aamiin yaa Robbal ‘Aalamiiin..

Ingat.., jangan lupa Puasa ‘Arofah pada tanggal 9 Dzulhijah (Insya Allah Hari Senin).
Dan selamat merayakan Hari Raya Idul Adha 10 Dzulhijah 1442 Hijriyah..

Taqobbalallohu minnaa wa minkum…

KEPUTUSAN TIM DOKTER BUKAN AKHIR DARI SEGALANYA, YANG TIDAK ADA PILIHAN LAINNYA, JANGAN BERPUTUS ASA DALAM MENGGAPAI RAHMAT ALLAH

Oleh : Dokter Hassan Syamsi Basya

Dr. Hassan Syamsi Basya (68 tahun) adalah seorang dokter spesialis jantung di sebuah rumah sakit di Jeddah, Arab Saudi. Di sore hari saat hendak pulang dari rumah sakit, beliau kedatangan tamu di kantornya.

Beliau berbagi pengalaman pribadinya untuk menjadi pelajaran bagi kita semua.

Aku melihatnya dengan tersenyum sambil berkata, “Ada perlu apa wahai saudaraku?”

Ia berkata, “Sepertinya anda lupa denganku wahai Dokter Hassan?”

Aku berkata, “Maaf, saya tidak ingat. Seorang dokter dalam setiap harinya bertemu dengan puluhan orang… Tidak mungkin untuk menghafal satu persatu orang yang pernah kutemui setelah sekian lama berpisah!”

Kemudian ia mengagetkanku dengan ucapannya, “Sejak dua puluh empat tahun yang lalu, setiap hari saya mendoakan kebaikan untukmu!..”

Aku berkata, “Jazakallahu khairan wahai saudaraku… Tapi mengapa anda mendoakanku setiap hari!?…”

Dia berkata, “Saya tidak bisa melupakan peristiwa yang terjadi dua puluh empat tahun silam! Saat itu anda sebagai direktur kamar ICU, dan saya sebagai mahasiswa kedokteran tingkat akhir mendapatkan tugas praktek di ruang ICU selama dua pekan.

Di hari berikutnya setelah selesai dari tugas praktek di rumah sakit, saya dan teman-teman berolah raga menyelam di laut merah. Saat menyelam terjadilah musibah, ibu jari tangan kanan saya digigit hewan laut. Luar biasa rasa sakitnya dan hampir saya jatuh pingsan di dalam laut. Kemudian teman-teman membawaku ke rumah sakit ini.

Saya dirawat di ruang ICU beberapa waktu lamanya. Ibu jariku membengkak, tiga dokter bedah yang menangani pasien memutuskan untuk memotong ibu jari yang luka untuk menyelamatkan tangan bahkan hidupku.

Anda adalah satu-satunya dokter yang menentang keputusan tersebut. Anda meminta kesempatan agar saya diberi lagi obat antibiotik dan dilihat dulu perkembangan sakitku ini. Alhamdulillah, akhirnya ibu jariku membaik sampai sembuh total dan tidak jadi dipotong.

Setelah itu saya melanjutkan studi ke Perancis dan mengambil spesialis mata.  Alhamdulillah sampai saat ini saya sudah mengoperasi ribuan pasien.

Setiap kali saya masuk ke ruang operasi dan melihat ibu jari ini, saya bersyukur memuji Allah kemudian mendoakanmu…

Bagaimana mungkin seseorang bisa memegang dan menggunakan alat-alat bedah tanpa ibu jari??
Bahkan bagaimana mungkin saya bisa diterima kuliah spesialis kedokteran mata jika tangan saya cacat??

Kalau bukan karena karunia Allah kepadaku kemudian pertolonganmu yang menentang keputusan tim dokter untuk memotong ibu jariku, tentu saya tidak akan menjadi dokter spesialis mata seperti sekarang ini.”

“Ketika itu kedua mataku berlinang dan meneteskan air mata… Aku berkata dalam hati,

“Beruntunglah seseorang yang berbuat kebaikan kemudian ia melupakannya… Sesungguhnya ia memiliki Rabb yang tidak akan melupakannya.”

(Dikutip dengan ringkas dari ‘Indama Yusyriqu Ash Shabah (dari halaman 18 – 21)

 

YANG PERTAMA KALI MELAKUKAN TARAWIH

Tarawih artinya istirahat, dinamakan demikian karena mereka (para Salaf) beristirahat dalam sholat mereka pada setiap empat raka’at. (Lisanul ‘Arab 2/462, kamus Al-Muhith hal. 282).

Penekanan anjuran shalat malam pada malam-malam bulan Ramadhan adalah berdasarkan hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha ia berkata:

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَرَجَ لَيْلَةً مِنْ جَوْفِ اللَّيْلِ، فَصَلَّى فِي المَسْجِدِ، وَصَلَّى رِجَالٌ بِصَلاَتِهِ، فَأَصْبَحَ النَّاسُ فَتَحَدَّثُوا، فَاجْتَمَعَ أَكْثَرُ مِنْهُمْ فَصَلَّى فَصَلَّوْا مَعَهُ، فَأَصْبَحَ النَّاسُ فَتَحَدَّثُوا، فَكَثُرَ أَهْلُ المَسْجِدِ مِنَ اللَّيْلَةِ الثَّالِثَةِ، فَخَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَصَلَّى فَصَلَّوْا بِصَلاَتِهِ، فَلَمَّا كَانَتِ اللَّيْلَةُ الرَّابِعَةُ عَجَزَ المَسْجِدُ عَنْ أَهْلِهِ، حَتَّى خَرَجَ لِصَلاَةِ الصُّبْحِ، فَلَمَّا قَضَى الفَجْرَ أَقْبَلَ عَلَى النَّاسِ، فَتَشَهَّدَ، ثُمَّ قَالَ: «أَمَّا بَعْدُ، فَإِنَّهُ لَمْ يَخْفَ عَلَيَّ مَكَانُكُمْ، وَلَكِنِّي خَشِيتُ أَنْ تُفْتَرَضَ عَلَيْكُمْ، فَتَعْجِزُوا عَنْهَا»، فَتُوُفِّيَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالأَمْرُ عَلَى ذَلِكَ

“Sesungguhnya Rasulullah shalallahu alaihi wasallam keluar pada waktu tengah malam, lalu beliau shalat di masjid, dan shalatlah beberapa orang bersama beliau. Di pagi hari, orang-orang memperbincangkannya.Ketika Nabi amengerjakan shalat (di malam kedua), banyaklah orang yang shalat di belakang beliau. Di pagi hari berikutnya, orang-orang kembali memperbincangkannya. Di malam yang ketiga, jumlah jamaah yang di dalam masjid bertambah banyak, lalu Rasulullah shalallahu alaihi wasallamkeluar dan melaksanakan shalatnya. Pada malam keempat, masjid tidak mampu lagi menampung jamaah, sehingga Rasulullah shalallahu alaihi wasallam hanya keluar untuk melaksanakan shalat Subuh.Tatkala selesai shalat Subuh, beliau menghadap kepada jamaah kaum muslimin, kemudian membaca syahadat dan bersabda, ‘Sesungguhnya kedudukan kalian tidaklah samar bagiku, aku merasa khawatir ibadah ini diwajibkan kepada kalian, lalu kalian tidak sanggup melaksanakannya.” Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam wafat dan kondisinya tetap seperti ini. (HR. al-Bukhari : 924, Muslim : 761).

Ketika beliau ditunggu para sahabatnya untuk tarawih di masjid dan ternyata beliau tidak keluar untuk shalat, lalu esok harinya beliau menyatakan alasannya :

«رَأَيْتُ الَّذِي صَنَعْتُمْ فَلَمْ يَمْنَعنِي مِنْ الْخُرُوجِ إلَيْكُمْ إلَّا أَنِّي خَشِيتُ أَنْ تُفْتَرَضَ عَلَيْكُمْ»

“Aku tahu apa yang kalian lakukan semalam dan tidak ada yang menghalangiku untuk shalat tarawih bersama kalian kecuali aku khawatir tarawih ini akan diwajibkan kepada kalian” (HR Bukhari : 2012).

Di dalam Hadits Abu Dzar, radhiyallahu ‘anhu Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda,

إِنَّهُ مَنْ قَامَ مَعَ الإِمَامِ حَتَّى يَنْصَرِفَ كَتَبَ اللَّهُ لَهُ قِيَامَ لَيْلَةٍ

“Bahwasanya Barang siapa yang ikut shalat (tarawih) bersama Imam sampai selesai maka dicatat baginya seperti shalat semalam suntuk”. (HR Abu dawud : 1375, Ahmad 5/159, shahih Sunan Nasa’I 1/353).

Hadits diatas menunjukan disyari’atkannya shalat tarawih dengan berjama’ah dan yang pertama kali mempraktekkannya adalah Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bukan Umar Bin Al-Khattab radhiyallahu ‘anhu sebagaimana yang disangka sebagian orang, Umar radhiyallahu ‘anhu hanyalah menghidupkan kembali yang sempat ditinggalkan pada masa Rasulullah shalallahu alaihi wasallam karena kekhawatiran di wajibkan tarawih tersebut kepada umatnya, demikian juga pada masa Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu belum sempat dihidupkan kembali karena berbagai macam kesibukan mengurusi urusan-urusan umat, sehingga barulah bisa terlaksana pada masa akhir pemerintahan Umar bin al-Khattab radhiyallahu ‘anhu. Oleh karena itu tatkala menyaksikan lentera-lentera masjid bergelantungan menerangi masjid pada malam bulan Ramadhan, Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu berkata, “ Semoga Allah Ta’ala menerangi kuburnya Umar radhiyallahu ‘anhu sebagaimana ia telah berjasa terangnya masjid kami “ maksudnya karena shalat Tarawih. (HR Ibnu Asakir, at-Tarikh 44/280, At-Tamhid, Ibnu Abdil Barr 8/119).

Wallahu A’lam

Abu Ghozie As Sundawie

HEMAT ENERGI DIMALAM HARI RAMADHAN

عَنْ أَبِي ذَرٍّ قَالَ صُمْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمْ يُصَلِّ بِنَا حَتَّى بَقِيَ سَبْعٌ مِنْ الشَّهْرِ فَقَامَ بِنَا حَتَّى ذَهَبَ ثُلُثُ اللَّيْلِ ثُمَّ لَمْ يَقُمْ بِنَا فِي السَّادِسَةِ وَقَامَ بِنَا فِي الْخَامِسَةِ حَتَّى ذَهَبَ شَطْرُ اللَّيْلِ فَقُلْنَا لَهُ يَا رَسُولَ اللَّهِ لَوْ نَفَّلْتَنَا بَقِيَّةَ لَيْلَتِنَا هَذِهِ فَقَالَ إِنَّهُ مَنْ قَامَ مَعَ الْإِمَامِ حَتَّى يَنْصَرِفَ كُتِبَ لَهُ قِيَامُ لَيْلَةٍ ثُمَّ لَمْ يُصَلِّ بِنَا حَتَّى بَقِيَ ثَلَاثٌ مِنْ الشَّهْرِ وَصَلَّى بِنَا فِي الثَّالِثَةِ وَدَعَا أَهْلَهُ وَنِسَاءَهُ فَقَامَ بِنَا حَتَّى تَخَوَّفْنَا الْفَلَاحَ قُلْتُ لَهُ وَمَا الْفَلَاحُ قَالَ السُّحُورُ

Dari Abu Dzar, ia berkata, “Kami puasa bersama Rasulullah shalallahu alaihi wasallam , dan beliau tidak shalat tarawih bersama kami hingga tinggal sisa tujuh hari dari bulan Ramadhan. Kemudian beliau tarawih bersama kami sampai menghabiskan sepertiga malam. Beliau tidak shalat tarawih bersama kami pada malam keenam, dan malam kelima beliau shalat tarawih bersama kami sampai separo malam.

Kami lalu bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana bila engkau habiskan sisa malam ini untuk mengerjakan tarawih bersama kami?’

Beliau bersabda, “Barangsiapa yang shalat tarawih bersama imam hingga imam selesai maka dicatat baginya shalat semalam suntuk. Kemudian beliau tidak shalat bersama kami hingga tinggal sisa tiga malam dari bulan Ramadhan. Pada malam ketiga beliau shalat bersama kami dan mengajak keluarga serta istri-istri beliau. Beliau shalat tarawih bersama kami sampai kami khawatir tiba saat falah” Aku bertanya kepadanya, “Apakah falah itu? Ia menjawab, “Sahur.” (HR Tirmidzi : 806, Ibnu Majah : 1327, Abu Dawud : 1375, An Nassai : 1364)

PELAJARAN DARI HADITS :

[1] Rasulullah shalallahu alaihi wasallam adalah orang yang pertama kali mencontohkan shalat tarawih bersama para sahabatnya secara berjamaah dan bukan Umar bin Khattab radhiyallahu anhu, walaupun beliau shalallahu alaihi wasallam melakukannya hanya beberapa malam. Hal ini karena beliau khawatir kalau tarawih akan diwajibkan oleh Allah Ta’ala sehingga memberatkan kepada umatnya.

Ketika pada malam berikutnya beliau ditunggu para sahabatnya untuk tarawih di masjid dan ternyata beliau tidak keluar untuk shalat, lalu esok harinya beliau menyatakan alasannya :

«رَأَيْتُ الَّذِي صَنَعْتُمْ فَلَمْ يَمْنَعنِي مِنْ الْخُرُوجِ إلَيْكُمْ إلَّا أَنِّي خَشِيتُ أَنْ تُفْتَرَضَ عَلَيْكُمْ»

“Aku tahu apa yang kalian lakukan semalam dan tidak ada yang menghalangiku untuk shalat tarawih bersama kalian kecuali aku khawatir tarawih ini akan diwajibkan kepada kalian” (HR Bukhari : 2012).

[2] Para sahabat adalah kaum yang sangat bersemangat beribadah, sehingga ketika ada sisa waktu separoh malam untuk shalat, mereka masih mengajak shalat kepada Rasulullah shalallahu alaihi wasallam untuk menghabiskan malam seluruhnya dengan shalat tarawih.

[3] Rasulullah shalallahu alaihi wasallam betapa sayangnya kepada umatnya, khawatir kewajiban yang berat menimpa umatnya, sehingga beliau tidak merutinkan shalat tarawih berjamaah di masjid.

[4] Perkataan Nabi shalallahu alaihi wasallam kepada para sahabatnya yang ingin meneruskan shalat malam sampai subuh padahal mereka sudah shalat tarawih bersama Rasulullah shalallahu alaihi wasallam :

إِنَّهُ مَنْ قَامَ مَعَ الْإِمَامِ حَتَّى يَنْصَرِفَ كُتِبَ لَهُ قِيَامُ لَيْلَةٍ

“Barangsiapa yang shalat tarawih bersama imam hingga imam selesai maka dicatat baginya shalat semalam suntuk”.

Hal ini menunjukan bahwa yang sudah tarawih bersama imam tidak perlu untuk shalat malam lagi di rumah, akan tetapi kalau ia mau mengisinya dengan ibadah yang lain maka hal itu adalah baik, misalnya dengan membaca Al Qur’an atau berdzikir dan berdo’a, sebagai bentuk menghemat energi untuk persiapan nanti di sepuluh malam yang akhir di bulan ramadhan.

[5] Waktu tarawih yang dilakukan Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bervariatif pernah beliau tarawih sampai sepertiga malam, pernah sampai separoh malam, bahkan pernah sampai menjelang waktu sahur.

[6] Terkadang beliau shalallahu alaihi wasallam mengajak keluarganya ke masjid untuk shalat tarawih, hal ini menunjukan bagi kaum wanita di bolehkan keluar rumah untuk berjamaah shalat tarawih dengan syarat aman dari fitnah.

[7] Tidak terlarang bagi yang sudah tarawih bersama imam untuk menambah shalat malamnya di rumah akan tetapi dengan catatan tidak melakukan witir dua kali apabila sudah witir bersama imamnya.

Rasulullah shalalahu alaihi wasallam bersabda:

لَا وِتْرَانِ فِى لَيْلَةٍ

“Tidak boleh ada dua witir dalam satu malam.” (HR. Abu Daud : 1441, Nasai : 1679 dan disahihkan Syu’aib al-Arnauth)

Dalam Fatwa Lajnah Daimah disebutkan :

“Jika Anda shalat tarawih bersama imam maka yang lebih utama adalah melakukan witir bersama imam, agar mendapatkan pahala sempurna, sebagaimana disebutkan dalam hadis, ‘Barang siapa yang ikut shalat tarawih berjemaah bersama imam sampai selesai maka untuknya itu dicatat seperti shalat semalam suntuk.’ (HR. Abu Daud dan Turmudzi). Jika Anda bangun di akhir malam dan ingin menambah shalat maka silakan shalat sesuai keinginan, namun tanpa witir, karena tidak ada dua kali witir dalam semalam.” (Fatwa Lajnah Daimah, 6/45). Wallahu waliyyut Taufiq.

Abu Ghozie As Sundawie

Kemuliaan Dan Kehinaan Itu Allah Yang Menetapkan

Allah berfirman,

مَن كَانَ یُرِیدُ ٱلۡعِزَّةَ فَلِلَّهِ ٱلۡعِزَّةُ جَمِیعًاۚ.
“Barangsiapa manghendaki kemuliaan, maka (ketahuilah) kemuliaan itu semuanya milik Allah.” [Fathir : 10]

Tidak diragukan lagi, apa yang telah Allah tegaskan dalam ayat ini merupakan suatu kebenaran yang nyata.
Manusia akan semakin mulia ketika ia mendekat kepada sumber kemuliaan. Karena kemuliaan itu hanya ada pada-Nya.
Jangan harap mendapatkan kemuliaan, seorang yang menentang sumber kemuliaan. Dia berpaling seakan bisa menemukan kemuliaan di tempat lain. Sungguh, dia tidak akan pernah mendapatkan kemuliaan itu.
Dengan tegas Allah berfirman,

وَلِلَّهِ ٱلۡعِزَّةُ وَلِرَسُولِهِۦ وَلِلۡمُؤۡمِنِینَ وَلَـٰكِنَّ ٱلۡمُنَـٰفِقِینَ لَا یَعۡلَمُونَ.

“Padahal kemuliaan itu hanyalah bagi Allah, Rasul-Nya dan bagi orang-orang Mukmin, akan tetapi orang-orang munafik itu tidak mengetahuinya.” [Al-Munafiqun : 8]

Adapun, satu-satunya jalan untuk mendapatkan kemuliaan hanyalah menundukkan diri dalam ketauhidan, dengan menyembah kepada Allah saja.
Allah berfirman,

أَلَمْ تَرَ أَنَّ اللَّهَ يَسْجُدُ لَهُ مَن فِي السَّمَاوَاتِ وَمَن فِي الْأَرْضِ وَالشَّمْسُ وَالْقَمَرُ وَالنُّجُومُ وَالْجِبَالُ وَالشَّجَرُ وَالدَّوَابُّ وَكَثِيرٌ مِّنَ النَّاسِ ۖ وَكَثِيرٌ حَقَّ عَلَيْهِ الْعَذَابُ ۗ وَمَن يُهِنِ اللَّهُ فَمَا لَهُ مِن مُّكْرِمٍ ۚ إِنَّ اللَّهَ يَفْعَلُ مَا يَشَاءُ.

“Apakah kamu tiada mengetahui, bahwa kepada Allah bersujud apa yang ada di langit, di bumi, matahari, bulan, bintang, gunung, pohon-pohonan, binatang-binatang yang melata dan sebagian besar daripada manusia? Dan banyak di antara manusia yang telah ditetapkan azab atasnya. Dan barangsiapa yang dihinakan Allah maka tidak seorangpun yang memuliakannya. Sesungguhnya Allah berbuat apa yang Dia kehendaki.”[Al-Hajj : 18]

Berkata Syaikh Prof. Dr. Wahbah az-Zuhaili,
Di tengah ayat-ayat ini, Allah menyisipkan penjelasan mengenai sujudnya para makhluk kepadaNya, seluruh makhluk yang berada di langit dan di bumi, matahari, bulan, bintang-bintang, gunung-gunung, pepohonan, bangsa hewan yang mencakup selurih binatang, dan kebanyakan dari kalangan manusia. Mereka adalah kaum Mukminin “dan banyak dari manusia yang telah ditetapkan azab atasnya,” maksudnya pasti dan telah ditetapkan lantaran kekufurannya dan tidak beriman. Allah tidak melimpahkan taufik baginya untuk menjadi orang beriman, karena Allah menghinakannya “dan barangsiapa yang dihinakan Allah, maka tidak seorang pun yang memuliakannya.” Tidak ada yang dapat membendung apa yang diinginkan oleh Allah, dan tidak ada penentang terhadap kehendakNya. Jika semua makhluk bersujud kepada (Allah), tunduk kepada keagunganNya, merasa tak berdaya di hadapan keperkasaanNya, patuh kepada kekuasaanNya, maka hal ini menandakan bahwa Dia-lah semata rabb yang berhak disembah, Raja yang terpuji (satu-satunya). Dan menunjukkan bahwa orang yang berpaling dariNya dengan menyembah kepada selain Allah, maka sungguh dia telah tersesat dengan kesesatan yang nyata, dan merugi dengan kerugian yang jelas.
(Tafsir Al-Wajiz, Syaikh Prof. Dr. Wahbah az-Zuhaili)

Allah mempertanyakan hal ini kepada Rasulullah untuk menjadi perhatian, yaitu:
Apakah Kamu (wahai Rasul) belum tahu bahwa sesungguhnya Allah, bersujud kepada-Nya dengan tunduk lagi patuh makhluk yang ada di langit dan yang ada di bumi, juga matahari, bulan, bintang-bintang, gunung-gunung, pepohonan, dan hewan yang bergerak (hidup)? Dan banyak manusia yang bersujud kepada Allah dengan penuh ketaatan dan kemauan sendiri, yaitu orang-orang Mukmin. Dan banyak juga manusia yang telah pasti azab akan meninpanya, maka dia adalah seorang yang hina. Dan manusia manapun yang dihinakan oleh Allah, maka tidak akan ada seorang pun yang dapat memuliakannya. Sesungguhnya Allah pasti melakukan pada makhluk-makhluk ciptaanNya apa-apa yang Dia kehendaki sejalan dengan kebijaksanaanNya.

Begitu banyak orang yang ingin menjadi mulia, tapi terkadang ia tidak sadar bahwa dirinya justru terjebak untuk melakukan perbuatan yang justru dihinakan. Ada beberapa kelompok yang justru dihinakan karena perbuatannya.
Orang yang sengsara adalah yang dihinakan Allah sehingga penduduk bumi pun akan membicarakan orang tersebut dengan kejelekan dan cercaan.

Dan manusia yang paling hina disisi Allah adalah manusia yang ingkar dan kufur kepada Allah, sebagaimana manusia yang paling mulia di sisi Allah adalah yang beriman dan bertakwa kepada-Nya.

Abu Yusuf Masruhin Sahal, Lc

Share, Like, Comment sebagai Ladang Pahala Kebaikan.

Bismillah…

🔰BERSAMA MERAIH SURGA🔰

Ahsanallahu ilaikum, ikhwah fillah dapatkan info TA’AWUN DAKWAH terbaru di sini👇👇👇

Multaqa Duat Indonesia – MDI

( Forum Kerja Sama Dakwah Para Da’i Salafy, Ahlu Sunnah wal Jama’ah Se-Indonesia )

Web: https://multaqaduat.com
Youtube: https://youtube.com/c/MultaqaDuatIndonesia
Instagram: https://instagram.com/multaqa_duat_indonesia
Telegram: https://t.me/multaqaduat
Twitter: https://twitter.com/MultaqaI?s=08
Facebook : https://web.facebook.com/multaqa2020
Facebook Grup : https://web.facebook.com/multaqa2020/groups/?ref=page_internal
WA grup Ikhwan MDI : https://chat.whatsapp.com/H3dwyDnVH4i2IQxiufE1qp
WA grup Akhwat MDI : https://chat.whatsapp.com/Gj1Wn7sDAGdJ04BBpxMeBS
Email : TeamMediaMDI2020@gmail.com
Admin MDI: wa.me/6282297975253⁣⁣

Semoga istiqomah dan mudah mudahan program MDI ini menjadi pintu Hasanat, Barokah dan Jariyah untuk kita semua. AAmiin

Jazakallah khair ala TA’AWUN
_⁣⁣⁣___
Infaq Donasi Program Kaderisasi, Da’i Pedalaman, Kemanusiaan, Dakwah, Media:
Bank Mandiri Syariah, No Rek 711-615-0578 (Kode Bank: 451), Atas Nama: Multaqo Du’at

Konfirmasi Transfer melalui Whatsapp/SMS dengat format:
Nama_Alamat_Nominal_Kaderisasi Da’i

Contoh:
Ahmad_Medan_Rp. 2.000.000_Kaderisasi Da’i

Kirim ke nomor :
082297975253 (Ust. Amrullah Akadhinta / Bendahara MDI)

Setiap Ada Kesulitan Pasti Ada Kemudahan Bersamanya

Allah berfirman,

Setiap ada kesulitan pasti jalan kemudahan

فَإِنَّ مَعَ ٱلۡعُسۡرِ یُسۡرًا ۝ إِنَّ مَعَ ٱلۡعُسۡرِ یُسۡرࣰا.

“Maka sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan.”
[Surat Al-Insyirah 5 – 6]

Dalam hidup ini, manusia pasti selalu dihadapkan dengan masalah. Terkadang masalah yang datang dapat diatasi dengan mudah, tetapi adakalanya masalah itu sulit untuk diselesaikan. Saking susahnya, tidak jarang menjadikan orang-orang berputus asa, dan menyerah dengan masalah yang ia hadapi. Padahal dalam Al-Qur’an Allah telah menjanjikan bahwa setelah seorang hamba mendapatkan kesulitan pasti ia akan di berikan jalan kemudahan.

Az-Zamakhsyari رحمه الله menjelaskan bahwa penggunaan kata مع (bersama) walaupun maksudnya sesudah adalah untuk menggambarkan betapa dekat dan singkatnya waktu antara kehadiran kemudahan dengan kesulitan yang sedang dialami.
(Ak-Kasyaf, Az-Zamakhsyary)

Diantara hikmah, ketika redaksi ayat di ulang sebanyak dua kali, ini menandakan bahwa kemudahan yang datang setelah kesulitan itu benar-benar pasti adanya. Sebagaimana ditegaskan dalam ayat yang lain,

سَيَجْعَلُ اللهُ بَعْدَ عُسْرِ يُسْرًا

“Kelak Allah akan memberikan kemudahan sesudah kesulitan” (QS. ath-Thalaq:7)
(Tafsir Al-Azhar, Buya HAMKA)

Abu Yusuf Masruhin Sahal, Lc.

Mensyukuri Nikmat Ramadhan

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

قلْ بِفَضْلِ اللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَٰلِكَ فَلْيَفْرَحُوا هُوَ خَيْرٌ مِّمَّا يَجْمَعُونَ

“Sampaikanlah (wahai Nabi Muhammad), dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaknya dengan itu mereka bergembira. Karunia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa mereka yang kumpulkan (dari harta benda). (Yunus: 58)

Yang dimaksud dengan “karunia Allah” pada ayat di atas adalah Al-Qur’anul Karim (Lihat Tafsir As Sa’di).

Bulan Ramadhan dinamakan juga dengan Syahrul Qur’an (Bulan Al Qur’an). Karena Al-Qur’an diturunkan pada bulan tersebut dan pada setiap malamnya Malaikat Jibril datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa Sallam untuk mengajari Al-Qur’an kepada beliau. Bulan Ramadhan dengan segala keberkahannya merupakan rahmat dari Allah. Karunia Allah dan rahmat-Nya itu lebih baik dan lebih berharga dari segala perhiasan dunia.

‘Ulama Ahli Tafsir terkemuka Al-Imam As-Sa’di rahimahullah berkata dalam tafsirnya: “Bahwasannya Allah memerintahkan untuk bergembira atas karunia Allah dan rahmat-Nya karena itu akan melapangkan jiwa, menumbuhkan semangat, mewujudkan rasa syukur kepada Allah, dan akan mengokohkan jiwa, serta menguatkan keinginan dalam berilmu dan beriman, yang mendorang semakin bertambahnya karunia dan rahmat (dari Allah). Ini adalah kegembiraan yang terpuji. Berbeda halnya dengan gembira karena syahwat duniawi dan kelezatannya atau gembira diatas kebatilan, maka itu adalah kegimbiraan yang tercela. Sebagaimana Allah berfirman tentang Qarun,

إِذۡ قَالَ لَهُ قَوْمُهُ لَا تَفْرَحْ ۖ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْفَرِحِينَ

“Janganlah kamu terlalu bangga, karena Allah tidak menyukai orang-orang yang membanggakan diri.” (Al Qashash: 76)

Bersyukur pada Allah dan memuji-Nya atas dipertemukannya dengan bulan Ramadhan.
Imam An-Nawawi rahimahullah berkata dalam kitabnya Al-Adzkaar,
“Ketahuilah, dianjurkan bagi siapa saja yang mendapatkan suatu nikmat atau dihindarkan dari kemurkaan Allah, untuk bersujud syukur kepada Allah Ta’ala, atau memuji Allah (sesuai dengan apa yg telah diberikan-Nya).”

Wallahu a’lam

Abu Yusuf Masruhin Sahal, Lc

Mensifati Allah dengan sifat makhluknya, KAFIR …

Allah berfirman,

فَاطِرُ ٱلسَّمَـٰوَ ٰ⁠تِ وَٱلۡأَرۡضِۚ جَعَلَ لَكُم مِّنۡ أَنفُسِكُمۡ أَزۡوَ ٰ⁠جࣰا وَمِنَ ٱلۡأَنۡعَـٰمِ أَزۡوَ ٰ⁠جࣰا یَذۡرَؤُكُمۡ فِیهِۚ لَیۡسَ كَمِثۡلِهِۦ شَیۡءࣱۖ وَهُوَ ٱلسَّمِیعُ ٱلۡبَصِیرُ.

“(Dia Allah) Pencipta langit dan bumi. Dia menjadikan bagi kamu dari jenis kamu sendiri pasangan-pasangan dan dari jenis binatang ternak pasangan-pasangan (pula), dijadikan-Nya kamu berkembang biak dengan jalan itu. Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dialah yang Maha Mendengar dan Melihat.”
[Surat Asy-Syura: 11]

Berkata Syaikh Muhammad bin Shalih asy-Syawi رحمه الله,
Dengan kekuasaan-Nya, kehendak-Nya dan kebijaksanaan-Nya. Sehingga kamu merasakan ketenangan dengannya dan memperoleh keturunan dan memperoleh manfaat.

Ada yang menafsirkan dengan Dia menjadikan Hawa’ dari tulang rusuk Adam. Ada jantan dan ada betina. Itu semua karena kamu, yakni untuk melimpahkan nikmat kepadamu. Yakni tidak ada sesuatu pun dari makhluk-Nya yang serupa dan sama dengan-Nya baik dengan zat-Nya, nama-nama-Nya, sifat-Nya, maupun perbuatan-Nya.

Hal itu, karena semua nama-Nya paling indah dan sifat-Nya adalah sifat sempurna dan agung. Sedangkan perbuatan-Nya, maka dengannya Dia mengadakan makhluk-makhluk yang besar tanpa ada yang ikut serta dengan-Nya. Oleh karena itu, tidak ada yang serupa dengan-Nya karena sendirinya Dia dengan kesempurnaan dari segala sisi.

Ayat ini merupakan bantahan kepada kaum Musyabbihah yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya. Sedangkan lanjutan ayatnya, yaitu وهو السميع العليم (Dia Maha Mendengar dan Maha Melihat) merupakan bantahan terhadap kaum Mu’aththilah (yang meniadakan sifat bagi Allah).

Ahlussunnah pertengahan antara kaum musyabbihah dan kaum mu’aththilah, mereka menetapkan sifat bagi Allah seperti yang disebutkan Allah dalam kitab-Nya dan disebutkan Rasul dalam sunnah-Nya, namun mereka tidak menyamakan sifat tesebut dengan sifat makhluk-Nya.

Dia mendengar semua suara dengan beragam bahasa serta bermacam-macam kebutuhan. Dia melihat rayapan semut yang hitam di malam yang gelap di atas batu yang keras. Dia juga melihat bagaimana makanan mengalir kepada makhluk-makhluk kecil serta mengalirnya air di dahan-dahan yang tipis.

Jika yang paling kecil saja dan yang tersembunyi Dia mengetahuinya lalu bagaimana dengan yang besar dan jelas.
(An-Nafahat Al-Makkiyah, Syaikh Muhammad bin Shalih asy-Syawi)

Ahlussunah sepakat bahwa Allah memiliki sifat yang sempurna dan maha tinggi. Jika serupa dalam maknanya, namun tidak ada yang serupa dengan keadaan dari sifat makhluknya sedikit pun.

Para Ulama Salaf telah mengingatkan, bahayanya menyerupakan sifat Allah dengan sifat makhluknya, dan mereka diancam dengan kekafiran.

قال أبو حنيفة رحمه الله:
ومن وصف الله تعالى بمعنى من معاني البشر فقد كفر.

العقيدة الطحاوية بتعليق الألباني ص25. (Ilmway.com)

Berkata Imam Abu Hanifah رحمه الله,
Barangsiapa yang men-sifati Allah dengan makna diantara makna-makna (sifat) manusia sungguh dia telah kafir.

Al-Aqidah Ath-Thohawiyyah bit Ta’liq Al-Albany, h. 25. (ilmway.com)

Abu Yusuf Masruhin Sahal, Lc

Akhlak Yang Jelek Bisa Meruntuhkan Agama, Kedudukan Dan Kehormatan Diri

Mutiara nasehat para Ulama Salaf.

Tidak akan bisa lepas kaitan antara akhlak seorang mukmin dengan agamanya.
Sehingga tepat sekali ungkapan para Salaf yang menyatakan, Tidak beragama orang yang tidak memiliki akal dan tidaklah berakal orang yang tidak beretika.(Ihya’Ulumuddin, Imam Al-Ghozaly)

Islam, agama yang mulia ini hanya bisa dipahami oleh orang-orang yang memiliki akal sehat. Sebagaimana yang Allah sampaikan dalam Al-Quran, ketika menjelaskan perkara hukum diakhiri dengan kata seperti:
Apakah kamu tidak berpikir?
Apakah kalian tidak berakal?
Apakah mereka tidak memiliki akal yang sehat? Kalimat ini menunjukkan Dinnul Islam ditujukan bagi orang yang berakal.
Allah berfirman,

إِنَّ الَّذِينَ يُنَادُونَكَ مِنْ وَرَاءِ الْحُجُرَاتِ أَكْثَرُهُمْ لَا يَعْقِلُونَ
“Sesungguhnya orang-orang yang memanggil kamu dari luar kamar(mu) kebanyakan mereka tidak mengerti.” [Al Hujurat : 4].

Berkata Syaikh Muhammad bin Shalih asy-Syawi,

Ayat-ayat yang mulia ini turun berkenaan dengan segolongan orang dari kalangan baduwi yang sifatnya disebutkan Allah sebagai berwatak keras, mereka layak untuk tidak mengetahui batasan-batasan yang diturunkan Allah kepada Rasul-Nya. Suatu ketika mereka mendatangi Rasulullah, mereka mendapatkan nabi sedang di dalam kamarnya bersama istri-istrinya, mereka tidak bersabar dan tidak sopan hingga Rasulullah keluar menemui, bahkan mereka memanggil dengan suara keras, “Hai Muhammad, hai Muhammad!” Maksudnya, keluarlah dan temui kami. Allah mencela mereka sebagai orang-orang yang tidak berakal yang tidak mengerti etika sopan santun terhadap Allah dan Rasul-Nya serta tidak menghormatinya, karena di antara tanda orang berakal adalah menggunakan etika bersopan santun, etika sopan santun seseorang adalah tanda bahwa orang itu berakal dan Allah menghendaki kebaikan padanya.
(An-Nafahat Al-Makkiyah, Syaikh Muhammad bin Shalih asy-Syawi)

Allah mensifati tentang orang-orang yang tidak berakhlak kepada Rasulullah صلى الله عليه وسلم dengan tidak berakal. Bila mereka menggunakan akalnya, mereka tentu mampu memahami, karena Islam mengajarkan etika mulia.

Betapa erat hubungan antara akhlak dan agama, Nabi صلى الله عليه وسلم menegaskan hal dalam sabdanya,

إنما بعثت لأتمم مكارم الأخلاق.
“Sesungguhnya aku ini diutus adalah untuk menyempurnakan akhlak-akhlak yang mulia.”(HR Al-Bukhory dalam Al-Adabul Mufrod, 273 dishahihkan Al-Albany dalam silsilah Ash-Shohihah, 45)

Tanpa akhlak mulia, manusia tak ada bedanya dengan binatang ternak. Dengan akhlak, manusia akan memperoleh derajat keagungan di sisi Allah.

Sehingga jeleknya akhlak seseorang akan menjatuhkan pula agamanya, kedudukannya, dan kehormatannya.

قال الفضيل بن عياض رحمه الله: من ساء خلقه شان دينه وحسبه ومروءته.
(تاريخ الإسلام، للذهبي: ج. ١٢، ص. ٣٣٩)

درر من اقوال أئمة السلف (kalemtayeb.com)

Berkata Imam Fudhoil bin Iyadh رحمه الله,
Barangsiapa yang jelek akhlaknya maka akan rusak pula agamanya, kedudukannya, dan kehormatannya.
(Tarikh Al-Islam, Adz-Dzahaby: j. 12, h. 339)