Beranda » Arsip Tag:Ilmu

Arsip Tag:Ilmu

Penuntut Ilmu dan Waktu

Penuntut Ilmu dan Waktu

Pebisnis sering mengatakan, “time is money”, waktu adalah uang. Adapun bagi orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir, waktu lebih berharga daripada uang; karena waktu adalah modal utama seseorang dalam kehidupan dunia ini untuk bisa menghasilkan keuntungan sebesar-besarnya di kehidupan akhirat.

Ketidakcakapannya dalam menginvestasikan waktunya dalam perkara-perkara kebaikan akan berbuah penyesalan di kehidupan dunia sebelum kehidupan akhirat sehingga sering didengar ungkapan,

يا ليت الشباب يعود يوما

Wahai seandainya waktu muda itu bisa kembali di suatu hari…

Penderitaan yang banyak menimpa manusia diantara sebab terbesarnya adalah ketidak berkahan waktunya dan ketidakmampuannya mengatur waktu dengan baik.

Allah ta’ala di banyak tempat dalam Al-Quran seringkali bersumpah dengan waktu, diantaranya QS. Al-Ashr. Allah ta’ala berfirman :

وَٱلۡعَصۡرِ ١ إِنَّ ٱلۡإِنسَٰنَ لَفِي خُسۡرٍ ٢ إِلَّا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَعَمِلُواْ ٱلصَّٰلِحَٰتِ وَتَوَاصَوۡاْ بِٱلۡحَقِّ وَتَوَاصَوۡاْ بِٱلصَّبۡرِ ٣

Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran”. (QS. Al-Ashr:1-3)

Diantara bentuk kasih sayang Allah ta’ala kepada kepada hamba-hamba-Nya, Allah telah mengatur untuk mereka kehidupan siang dan malam. Siang hari untuk mencari kehidupan dan malam hari untuk berisitirahat. Secara khusus bagi seorang muslim, hikmah dari diwajibkannya shalat lima waktu di waktu-waktu tertentu secara tertib dan teratur adalah agar ia bias mengambil pelajaran dalam mengatur kehidupannya dengan waktu-waktu yang ada.

Orang yang tidak memperdulikan waktunya untuk digunakan dalam ketaatan, bahkan ia gunakan untuk berbagai macam keburukan, maka kematiannya lebih baik dari kehidupannya kecuali ia bertobat kepada Allah ta’ala. Bagaimana tidak? Semakin panjang usianya dalam kesia-siaan maka akan semakin berat pertanggungjawabanya di kehidupan akhirat.

Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda :

لاَ تَزُولُ قَدَمَا عَبْدٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ عُمْرِهِ فِيمَا أَفْنَاهُ وَعَنْ عِلْمِهِ فِيمَا فَعَلَ وَعَنْ مَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ وَفِيمَا أَنْفَقَهُ وَعَنْ جِسْمِهِ فِيمَا أَبْلاَهُ

Tidak akan bergeser kedua kaki seorang hamba pada hari kiamat sampai ia ditanya tentang : umurnya bagaimanakah ia habiskan, ilmunya apakah ia amalkan, hartanya bagaimana ia peroleh dan kemana ia infakkan dan mengenai tubuhnya dalam hal apakah ia gunakan.” (HR. Tirmidzi dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albani).

Maka dikatakan :

الوقت كالسيف فإن لم تقطعه يقطعك

Waktu itu seperti pedang jika engkau tidak menggunakannya untuk memotong maka dia akan memotongmu”.

Dan seorang penuntut ilmu seharusnya lebih pandai mengorganisir waktunya dibandingkan manusia pada umumnya dikarenakan :

1. Ia adalah orang yang paling mengerti tentang nilai waktu. Al-Quran dan hadits-hadits sangat banyak berbicara tentang hal ini.

2. Pandangan manusia senantiasa tertuju padanya dan menjadikannya teladan. Jika ia tidak pandai mengatur waktunya, maka penilaian manusia akan buruk terhadap dirinya dan agamanya.

3. Tanggung jawabnya yang bermacam-macam dan membutuhkannya.

Maka dari itu, hendaknya seorang penuntut ilmu benar-benar memperhatikan urusan-urusanya, baik urusan pribadi maupun yang berkenaan dengan publik dan berusaha mengaturnya dengan cermat.

Dan jika kita perhatikan para ulama yang meninggalkan karya-karya besar dan banyak yang sangat bermanfaat bagi umat yang usia mereka relatif singkat, kita akan mengetahui bahwa hal itu diperoleh setelah taufik dari Allah ta’ala kemudian dikarenakan mereka begitu memperhatikan detik-detik dalam kehidupan mereka dan memanfaatkannya secara maksimal untuk berbagai macam kebaikan.

Dan tidaklah itu bisa terjadi melainkan karena kecakapan dan kecermatan mereka dalam mengatur waktu, dan memahami pentingnya skala prioritas dalam kesibukannya sehingga mereka dapat mengatur mana yang harus didahulukan dan mana yang bisa diakhirkan.

Hasan Al-Basri rahimahullah mengatakan : “Aku mendapati suatu kaum yang mereka lebih semangat dalam menjaga waktu-waktu mereka sebagaimana semangatnya kalian menjaga dirham dan dinar”.

Dan diantara faktor-faktor yang dapat membantu keteraturan waktu dan keberkahannya dan dapat membantu menyeselesaikan berbagai macam urusan dalam waktu yang singkat, sebagaimana yg dinasehatkan sebagaimana dinasehatkan ulama :

1. Terus menerus berdoa kepada Allah dengan penuh kejujuran.

2. Niat yang tulus dalam segala urusan.

3. Tekad yang kuat dan tidak berputus asa jika hasilnya belum terlihat.

4. Bermusyawarah dan meminta nasehat dari orang yang dikenal dapat mengatur waktunya dengan baik.

5. Menghadiri kajian-kajian dan membaca buku-buku yang berkaitan dengan pentingnya waktu dan bagaimana cara menjaga dan mengaturnya dengan baik.

6. Memanfaatkan kecanggihan tekhnologi yang ada untuk menghemat waktu.

7. Reschedule atau atur ulang kegiatan-kegiatan yang sudah ada baik secara tidak tertulis maupun tertulis.

8. Jangan tergesa-gesa dalam mengatur berbagai urusan dan mengambil keputusan.

Semoga Allah meberikan taufiq kepada kita dan memberkahi waktu-waktu kita.

******

Ridwan Abu Raihana, Ponpes BAIM, Rabu, 24 Rabi’ul Awwal 1442 H / 11 Nov 2020.
Sumber : 
- Qimatuz Zaman ‘indal ‘Ulama, Syaikh Abdul Fattah Abu Ghuddah.
- Thalibul ‘Ilmi Bainat Tartib wal Faudhawiyyah, Syaikh Abdul Aziz Bin Muhammad Sadhan.

Berilmu Jangan Lupa Beradab

 

Berilmu Jangan Lupa Beradab

Bismillah…

Jika anda diminta memilih, antara bersahabat dengan orang berilmu tapi tak punya adab, dengan orang yang pas-pasan dalam keilmuawan, tapi beradab, anda akan nyaman bersama siapa?

Kita sama, karena jiwa kita lebih nyaman berteman dengan orang baik adabnya, walaupun pas-pasan ilmunya.

Siapa yang nyaman berteman dengan orang pintar, tapi pembohong, pintar tapi tidak amanah, pintar tapi egois, pintar tapi culas atau pintar tapi jago korupsi. Semua tak nyaman dengan orang yang seperti ini.

Ilmu yang ada pada orang yang tak beradab, menjadi tertutupi oleh gelapnya adabnya. Sehingga ilmu tak lagi membuatnya bersinar dan tak lagi mengangkatnya. Tak ada artinya ilmu tanpa adab yang baik. Bisa dikatakan, hasil dari ilmu adalah adab akhlak yang baik. Ilmu seseorang bisa disebut tak manfaat saat tak dapat membuatnya berakhlak baik.

Benar apa yang dipesankan Makhlad bin Husain kepada Ibnul Mubarok,

نحن إلى كثير من الأدب أحوج منا إلى كثير من العلم

Kita lebih butuh pada banyak adab daripada banyak ilmu.”

Seorang Pujangga Arab bersyair,

والمرء لا يسمو بغير الأدب

وإن يكن ذا حسب و نسب

Seorang tak akan bisa mulia tanpa adab.

Meski ia memiliki kedudukan dan berdarah bangsawan.

Di samping itu, ilmu yang benar-benar berkah dan manfaat itu, tak akan berkenan bersemayam di dalam hati orang yang tak punya adab. Jika iya ada ilmu yang ada padanya, itu hanya sebatas wawasan, bukan ilmu yang sebenarnya. Karena ilmu yang berkah akan membentuk karakter yang mulia pada diri pembawanya.

Yusuf bin Husain pernah mengatakan,

بالأدب تفهم العلم

Hanya dengan adab, Anda akan memahami ilmu.

Seorang guru, sebelum iya mengajarkan ilmunya, akan melihat mana murid yang layak ia transferkan ilmunya. Ukuran kelayakan itu adalah, ADAB.

Dan guru akan lebih ikhlas mengajarkan ilmu, kepada murid yang beradab baik kepadanya. Sehingga ini menjadi wasilah keberkahan ilmu yang diperoleh oleh sang murid.

Oleh karenanya, para salafus sholih dahulu sangat perhatian kepada adab. Sebanding dengan besarnya perhatian mereka terhadap ilmu. Ibnu Sirin mengatakan,

كانوا يتعلمون الهدى كما يتعلمون العلم

Para ulama dahulu, mereka belajar abad sebagaimana mereka mempelajari ilmu.”

Bahkan mereka lebih mendahulukan penanaman adab sebelum penanaman ilmu. Imam Malik pernah memberi nasehat kepada anak muda dari suku Quraisy,

يا ابن أخي تعلم الأدب قبل أن تعلم العلم

Wahai saudaraku, belajarlah adab sebelum belajar ilmu.”

Imam Ibnul Qoyyim rahimahullah di dalam kitab Madarijus Salikin menekankan tentang pentingnya adab bagi pelajar atau penuntut ilmu,

أدب المرأ عنوان سعادته وفلاحه, وقلة أدبه عنوان شقاوته وبواره, فما استجلب خير الدنيا والآخرة بمثل الأدب, ولا استجلب حرمانهما بمثل قلة الأدب

Adab seseorang adalah tanda kesuksesan dan kebahagiaannya. Kurang adab adalah tanda kegagalan dan kesedihan. Tak ada karunia yang paling bisa mendatangkan kebaikan dunia dan akhirat, melebihi adab. Dan tak ada musibah yang paling bisa menghalangi seorang dari kebaikan dunia dan akhirat, melebihi kurangnya adab.” (Madarijus Salikin)

Wallahulmuwaffiq.

Referensi :

– Mukhtashor Ta’dhiim Al-‘Ilmi, Syekh Sholih Al-‘Ushoimi.

Ditulis oleh : Ahmad Anshori (Pengasuh Thehumairo.com & Pengajar di PP Hamalatul Quran Jogja)